Dalam memimpin, Rasulullah saw mengurus banyak aspek. Tidak hanya urusan perang, ekonomi, dan politik, melainkan juga hal-hal yang bersifat pribadi dari rakyatnya. Semisal, masalah perkahwinan.
Pada masa Rasulullah saw, ada seorang sahabat yang berasal dari Yamamah. Tubuhnya pendek, warna kulitnya hitam dan dari sisi ekonomi dia miskin, sementara usianya sudah tergolong dewasa. Dia sengaja datang ke Madinah untuk masuk Islam dan tinggal di Suffah (asrama di masjid).
Suatu ketika, Rasulullah saw menemuinya dan bertanya: “Wahai Jabir, aku tahu engkau sendirian.”
“Ah, tidak ya Rasul. Allah selalu bersama kita,” jawabnya.
“Tentu demikian, wahai Jabir. Namun, yang aku maksud adalah apakah engkau tidak mau menikah, memiliki seorang istri yang akan menemanimu?” tanya Rasul lagi.
Mendengar hal itu, Jabir seperti tidak percaya dengan pertanyaan Rasul, la kemudian balik bertanya, “Ya Rasul, aku bukan tidak mau menikah, di kota ini mana ada wanita yang mau kepada diriku atau orangtua mana yang mau menikahkan puterinya kepadaku yang buruk, miskin bahkan tak punya rumah?”
Rasul kemudian meyakinkan, “Wahai Jabir, engkau orang yang bertakwa. Derajat manusia ditentukan oleh ketakwaan, bukan oleh kekayaan dan ketampanannya. Karena itu, sekarang berangkatlah engkau ke rumah Ziad bin Labid untuk melamar anaknya yang bernama Zulfah.”
Sesampai di rumah Ziad, Jabir dipersilahkan masuk dan menyampaikan maksud kedatangannya, meskipun dengan perasaan berat. Pasalnya, Ziad adalah orang yang termasyhur dan kaya dikalangan sukunya, sedangkan Zulfah adalah gadis shalehah yang sangat cantik di Madinah sehingga banyak pemuda yang tertarik kepadanya. Ia berkata, “Atas nama Rasul, aku datang kesini. Ada pesan beliau yang harus kusampaikan. Bolehkah aku menyampaikannya disini atau aku harus pergi ke tempat lain?.”
Ziad kemudian menyambut dengan mengatakan, “Adalah suatu penghormatan bila Rasul menyampaikan pesannya kepada kami. Karena itu, sampaikanlah, apapun isinya.”
Jabir mengatakan, “Rasul memerintahkan aku datang ke sini guna melamar putrimu, yang bernama Zulfah.”
Mendengar hal itu, Ziad tentu saja amat terkejut, la sama sekali tidak menduga bila Rasul bermaksud menjodohkan anaknya dengan pemuda seperti Jabir. Ada perasaan berat untuk menerimanya. Karena heran, ia berkata seperti tidak percaya, “Apa Rasul sendiri yang menyatakan hal itu kepadamu?”
Jabir menjawab, “Semua orang tahu siapa aku. Aku adalah seorang Muslim yang tidak pernah berdusta.”
Karena merasa sangat aneh sebab biasanya perjodohan dilakukan kepada orang yang sama derajatnya, maka ia berkata kepada Jabir, “Sekarang pergilah engkau, aku akan temui sendiri Rasulullah.”
Kalimat itu membuat Jabir menjadi kecewa. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Ya Allah, saksikan bahwa apa yang diajarkan Al-Qur’an dan diperintah Rasul ternyata amat berbeda dengan perkataan Ziad.”
Dialog itu ternyata didengar oleh Zulfah. Setelah Jabir pergi, Zulfah menemui ayahnya lalu berkata, “Ayah, barangkali dia berkata benar. Jika demikian penolakan ayah, berarti penolakan terhadap perintah Rasul. Susullah dia sebelum jauh dan segeralah ayah menemui Rasul.”
Sesampai di rumah Rasul, Ziad berkata, “Tadi Jabir datang ke rumahku untuk melamar putriku. Bukanlah menurut tradisi, kita hanya mengawinkan dengan orang yang sederajat?” Tanya Ziad.
“Jabir adalah orang yang bertakwa. Tentang derajat yang engkau maksudkan itu tidak ada hubungannya, laki laki dan wanita yang bertakwa adalah sama derajatnya, jawab Rasul tegas.
Setelah mendengar pernyataan Rasul, maka Zulfah yang shalehah mendesak ayahnya untuk menerima lamaran Jabir. Alhasil, berlangsunglah pernikahan Zulfah yang cantik dan dari keluarga yang kaya dengan Jabir yang jelek dan miskin, namun mulia karena ketakwaannya.
Zulfah amat bahagia atas perkahwinan itu karena diridhai oleh Rasulullah saw. Tidak lama sesudah per- kawinan, Jabir mengikuti perang dan ternyata ia mencapai syahid dalam perang itu. Zulfah amat sedih atas kematian suaminya itu, meskipun ia juga gembira karena kematiannya yang begitu mulia.
Dari kisah di atas, pelajaran yang bisa kita ambil adalah:
1. Seorang pemimpin amat penting memberikan pemahaman yang utuh dan benar tentang suatu persoalan.
2. Salah satu tanggungjawab pemimpin adalah masalah perkahwinan, karenanya kemudahan harus dilakukan agar orang yang dipimpinnya dapat melangsungkan perkahwinan.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments