Ketika keadilan hendak ditegakkan oleh seorang pemimpin, maka salah satu sikap yang harus dimilikinya adalah memandang orang yang dipimpinnya itu dengan persamaan, dalam arti tidak membeda-bedakan antara yang satu dan lainnya. Rasulullah saw menegakkan prinsip persamaan ini, termasuk terhadap diri dan keluarganya. la merasa tidak harus mendapat keistimewaan sehingga apa yang memang harus dilakukan tetap dilakukannya sendiri.
Pada saat baru tiba di Madinah dalam perjalanan hijrah dari Makkah, beliau bersama para sahabat membangun Masjid Nabawi secara bergotong royong. Rasulullah membawa batu bata dari satu tempat ke tempat pembangunan. Meskipun tampak sudah lelah dan para sahabat bahkan ada yang sudah mulai beristirahat, beliau terus saja membawa batu bata itu sehingga sahabat yang lebih muda menjadi malu ketika mereka sudah beristirahat terlebih dahulu.
Diantara mereka ada yang segera bangkit dari tempat duduknya, ia lalu meminta Rasulullah saw untuk beristirahat dan menyerahkan batu yang dibawanya itu kepada dirinya. Namun, Nabi ternyata malah berkata, “Kalau engkau masih mau membawanya, lihatlah di sebelah sana masih banyak batu yang harus dibawa.”
Dalam masalah hukum, Rasulullah saw juga menerapkan prinsip persamaan sehingga siapa saja yang bersalah akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Suatu ketika, datang beberapa orang sahabat mengeluhkan kondisi dimana masih terjadi diskriminasi hukum. Bila orang “penting” yang melakukan kesalahan, kesalahan itu malah ditutup-tutupi. Sebaliknya, bila orang biasa yang melakukan kesalahan, dihukum dengan hukuman yang bisa jadi lebih berat dari kesalahan yang dilakukannya. Mendengar hal itu, Rasulullah saw bersabda, “Seandainya anakku, Fatimah, mencuri, akan aku potong tangannya.”
Persamaan dalam mengutarakan pendapat juga diterapkan oleh Rasulullah saw sehingga siapa pun yang mengkritik dan mengutarakan pendapatakan didengarnya, baik dari kalangan sahabat muda maupun tua atau dari bangsa Arab maupun bukan Arab. Suatu ketika akan terjadi peperangan dan Rasulullah hendak menerapkan strategi bertahan dengan menunggu dengan penuh siaga serangan musuh. Seorang sahabat muda, yang bernama Salman Al Farisi, yang bukan orang Arab melainkan Persia, bertanya dengan penuh kesopanan, “Strategi ini berdasar wahyu atau dari pendapat engkau pribadi?”
Rasulullah menjawab: “Ini pendapat pribadi.” “Memang mengapa?”. ujar Rasul, balik bertanya.
“Di negeri kami, bila strategi ini diterapkan, kami menggali parit di sekeliling kami sehingga menyulitkan musuh untuk menyerang, kalaupun bila mereka berhasil melewati parit tersebut, kita halau serangan mereka sehingga mereka akan mengalami kesulitan untuk mundur. Pasalnya, majunya saja sudah sulit, apalagi mundurnya.”
Rasulullah amat setuju dengan usulan itu. Alhasil, segera digalilah parit di sekeliling pasukan Muslim sehingga perang ini pun disebut dengan perang Khandak yang artinya parit.
Pada kesempatan lain, Rasulullah saw sedang menyampaikan ceramah dihadapan para sahabat. Tiba-tiba saja seorang Anshar menyampaikan tuntutan hukum sambil menunjuk ke beberapa orang dengan mengatakan, “Ya Rasulullah, orang-orang ini termasuk Bani Tsa’labah. Nenek moyang mereka membunuh salah seorang anggota keluarga kami. Kami minta supaya engkau menggantung salah seorang dari mereka sebagai gantinya.”
Akan tetapi, Rasulullah kemudian menjawab, “Kesalahan orang tua tidak bisa ditimpakan kepada anak cucunya.”
Masih banyak contoh-contoh lain yang menggambarkan bagaimana Rasulullah saw amat menekankan prinsip persamaan dalam menjalankan kepemimpinan bagi para sahabatnya.
Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
1. Keadilan merupakan kunci kebahagiaan dan kesejahteraan dalam masyarakat.
2. Keadilan hanya bisa diwujudkan manakala pemimpin menerapkan persamaan dihadapan masyarakatnya.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments