Menjelang kedatangan bulan mulia Ramadhan, setiap muslim pasti tertanya apakah langkah mantap yang perlu dilakukan, sebagai persediaan. Namun, tidak ramai yang memikirkan tentang adanya rintangan, yang menghalang seseorang untuk mencapai atau menikmati Ramadhan sepenuhnya.
Rintangan yang dimaksudkan itu, ada di antaranya yang merupakan persyaratan yang berdimensi wahyu, dan ada pula yang berdimensi sosiologi. Rintangan dalam bentuk persyaratan adalah apa yang dinyatakan dalam hadis nabi bahawa Allah tidak akan menerima puasa seseorang yang belum saling memaafkan antara ia dengan orang tuanya. Selagi belum mendapat keridhaan dari orang tuanya atas kesalahan yang dibuat dimasa lalu maka puasanya tidak akan diterima Allah. Demikian juga dengan suami-isteri jika masih ada dendam kesumat dan tidak saling bermaafan maka merka hanya sekadar menahan lapar dan dahaga. Demikian juga dengan jiran, adik-beradik sahabat perlu bermaaf maafan.
Berpuasa Dengan Cinta
Keberadaan kita di dunia ini merupakan buah cinta antara ayah dan ibu. Kerana itulah juga kita mendambakan cinta, dan ingin mencurahkan cinta kepada yang lain. Maka, ibadah kita kepada Tuhan sejatinya adalah wujud cinta kita kepada-Nya. Kita mencintai Allah kerana Dia mengalirkan cinta-Nya ke dalam relung hati kita yang paling dalam, dan kepada-Nya pula cinta kita bermuara.
Kita boleh mencintai anak, isteri, suami, orang tua, sahabat, dan kerabat, tetapi semua itu adalah cinta sementara, yang akan sirna ketika yang kita cintai telah tiada. Lalu, ke mana mengalirnya cinta kita setelah itu? Cinta kita akan kembali kepada asalnya.
Jika ibadah kita kepada Allah hanya didasarkan atas perintah-Nya maka ibadah kita tak lebih dari pelepasan kewajiban. Hasilnya pun hanyalah kepatuhan semua yang tidak menampakan apa apa terhadap kebaikan ruhani kita. Inilah ibadah yang disebut oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib RA sebagai ibadah budak-budak.
Sementara, ibadah yang dilakukan karena mengharapkan balasan atau keuntungan tertentu adalah ibadah pedagang. Namun ibadah dengan cinta adalah ibadah yang tanpa pretensi apa pun. Inilah yang dikatakan Sayyidina Ali sebagai ibadah orang yang bebas dan merdeka.
Harus dikaji dan diamalkan, kaedah berpuasa berdasarkan cinta kepada Allah. Ia kerana Allah telah menganugerahi potensi yang sangat besar dalam jiwa kita, iaitu kekuatan cinta. Maka kita harus gunakan kekuatan itu untuk mencapai objektif. Jika ingin menaklukkan seseorang, jangan gunakan kekuatan senjata, atau kekuatan fizikal dan kekuasaan. Kerana kekuatan itu hanya akan menundukkan seseorang untuk sementara, dan dalam hatinya akan lahir kebencian dan dendam.
Tetapi apabila seseorang menakluk dengan cinta, ia dapat meluluhkan yang padat, mencairkan yang beku, memperindah yang buruk, melunakkan yang keras, dan mendamaikan yang resah. Itulah kekuatan cinta, kekuatan sejati yang ditempatkan Allah SWT dalam jiwa manusia. Maka, dalam beribadah kepada Tuhan pun kita harus mempergunakan kekuatan cinta.
Akan tetapi, mengapa kebanyakan kita tidak menggunakan kekuatan itu untuk beribadah? Mengapa banyak di antara kita yang beribadah hanya karena ingin dipuji atau dilihat orang lain? Mengapa ada yang beribadah untuk meraih keuntungan dunia?
Beribadah dengan cinta tidak boleh dilakukan secara spontan. Cinta tidak tumbuh tiba-tiba, tetapi secara perlahan, terlebih lagi cinta kepada Allah SWT. Cinta seperti itu merupakan hasil perjuangan dan pelatihan jiwa yang intensif dalam waktu yang cukup lama. Proses inilah yang digambarkan dalam hadis qudsi, bahawa cinta timbal-balik antara hamba dan Tuhan, merupakan hasil setelah menambah intensiti amal fardhu dan sunnah.
Ketika hatinya seseorang berhadapan dengan Allah, mulailah terjalin benang-benang cinta. Setiap saat jalinan itu tumbuh semakin kuat sehingga terwujud hubungan antara Sang Kekasih dan si pecinta. Lalu ibadah yang sebelumnya dikerjakan untuk mendekati Allah, kini berubah menjadi wahana bagi jalinan kasih antara Allah dan hambanya. Inilah ibadah dengan, ibadah dalam, dan ibadah kerana cinta.
Puasa dengan cinta tiak mudah dilakukan dan memerlukan latihan serta pembiasaan untuk jangka waktu yang lama. Kita menekuni ibadah fardhu secara rutin, kemudian menyempurnakannya dengan menjalankan berbagai sunnah. Setiap saat kita berusaha meningkatkan ibadah kita baik dari sisi kualiti maupun kuantitinya sehingga pada akhirnya kita akan memetik buahnya, iaitu cinta Ilahi. Dalam ayat Al-Qur’an disebutkan:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” – (QS Al-Kahfi, Ayat 110)
Catatan: Ummu Khadeejah Abdullah
Recent Comments