Sebuah kejadian yang sangat menakjubkan dikisahkan oleh Abu Hurairah. Suatu hari Rasulullah menggerakkan orang-orang untuk bersedekah. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kamu.” Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar.” Beliau berkata, “Sedekahkanlah ia untuk dirimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku ada lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk istrimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk pembantumu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Engkau yang lebih tahu.”(HR Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dalam hadits ini beliau memberi dua isyarat yang sangat halus. Di awal beliau berkata, “Bersedekahlah kepada dirimu sendiri,” kemudian mengikutinya dengan istilah yang sama, yaitu bersedekah kepada istri, anak, dan pembantu. Hal ini bertujuan agar ia tidak merasa rendah atau sedih karena tidak bersedekah sesuai dengan makna yang dipahami oleh orang-orang, yaitu bersedekah kepada orang lain. Beliau menegaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah sedekah. Bahkan ia adalah sedekah yang harus didahulukan dibanding yang lainnya.
Isyarat kedua, di akhir hadits ketika disebutkan masih adanya wang yang tersisa setelah ia memberikannya kepada keluarga, beliau bersabda, “Engkaulah yang lebih tahu.” Di sini beliau tidak mengharuskan untuk memberikan wang yang lebih ini kepada kaum fakir, namun ia serahkan kepada pertimbangan dirinya sendiri. Boleh jadi ada sesuatu yang sangat diperlukan di rumahnya, atau ia ingin memberi keluasan pada dirinya dan keluarganya, atau ia menginfakkannya di luar rumah di jalan Allah.
Laki-laki ini adalah seorang yang fakir. Ia tidak wajib menunaikan zakat. Rasulullah mempersilakannya untuk memanfaatkan harta yang sedikit ini sesuai keinginannya. “Alangkah penyayang dan seimbangnya pertimbangan beliau,” ungkap Dr. Raghib As-Sirjani dalam situsnya.
Lebih dari itu, Rasulullah mengetahui bahwa manusia punya rasa cinta kepada keluarga dan kerabatnya. Beliau tidak menjadikan pemberian ini terbatas pada keluarga dekat yang terdiri dari isteri, orang tua, dan anak-anak saja. Beliau memperluas cakupannya dan menjadikannya pada seluruh keluarga. Bahkan, beliau memuji sedekah yang diberikan kepada keluarga sekalipun orang akan melakukannya dengan sukarela dan tidak merasa terpaksa.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, mendatangi Rasulullah dan menanyakan satu soal menakjubkan tentang sedekah. “Wahai Nabi Allah, hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah dan aku mempunyai perhiasan. Aku ingin menyedekahkannya. Ibnu Mas’ud dan anak-anak berpendapat bahwa merekalah orang yang pantas aku beri,” kata Zainab. Nabi Saw bersabda:
“Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu adalah orang yang paling pantas engkau beri sedekah.”(HR Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Ibnu Mas’ud adalah seorang fakir sementara istrinya adalah seorang yang kaya. Biasanya, si istri akan membantu suaminya dengan hartanya bukan dengan niat bersedekah, namun karena saling tolong menolong dalam kehidupan.
Menariknya, Rasulullah menjadikan pemberian ini sebagai sedekah dari istri kepada suaminya. Sebab kewajiban nafkah hanya untuk laki-laki saja. Apabila istri memberi sesuatu kepada suami dari hartanya (harta istri), hal ini dihitung sebagai sedekah. Oleh karena itu, para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang istri boleh mengeluarkan zakat—tidak hanya sedekah—untuk suaminya apabila suaminya fakir dan membutuhkan sedekah.
Demi Allah, ini merupakan sebuah bentuk kasih sayang yang sangat jelas dan kemudahan yang sangat besar.
Catatan: Ibnu Hayyan
Recent Comments