Memilih pemimpin merupakan hal yang penting dan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada masyarakat yang kebanyakan masih bersifat figursentris dalam melaksanakan program organisasi, termasuk pembangunan negara. Menentukan figur yang tepat untuk menempati posisi menempati posisi yang tepat sangat menentukan hasil-hasil keberjalanan kepengurusan.

Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal cara memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan AQuran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah.

Lihat surat Al-Baqarah (2): 124, “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat.

Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”.(H. R. Muslim).

Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah saw: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu”.(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang.

Lihat Q. S. Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”. Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami.

Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa (4): 5, “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain.

Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Dalam Quran, terdapat banyak ayat yang menjelaskan kriteria seorang pemimpin.  Dalam Q. S. Al-Baqarah (2) : 30-33, disebutkan bahwa Allah lebih mengutamakan manusia sebagai khalifah (wakil Allah, pemimpin) di bumi daripada malaikat yang lebih suci dan terhindar dari dosa karena manusia memiliki pengetahuan yang diajarkan oleh Allah.

Ini menunjukkan, dalam memilih pemimpin aspek kesalehan pribadi tidak lebih diutamakan daripada pengetahuan dan kecakapan dalam menjalankan peran sebagai pemimpin. Idealnya, kesalehan pribadi semestinya berjalan beriringan dengan semakin meningkatnya kapasitas seseorang dalam mengorganisasikan masyarakat.

Bagaimanapun, meski seorang pemimpin tidak terlalu soleh, ia tetap tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulnya dalam menentukan kebijakan publik. Sebagaimana disebutkan dalam Q. S. An-Nisa (4) : 5. Umumnya, kecerdasan atau ilmu memimpin perlu diimbangi dengan fisik yang sehat agar pemimpin tersebut lancar dalam menjalankan perannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Q. S. Al-Baqarah (2) : 247.

Ayat tersebut juga menegasikan perlunya seorang pemimpin memiliki kekayaan yang banyak, sebagaimana dianut banyak partai politik saat ini dimana untuk sekedar mencalonkan diri sebagai legislative atau eksekutif, seseorang harus membayar cukup mahal sehingga menimbulkan kerawanan korupsi sebagai “balas dendam” biaya pencalonan.

Pada ayat tersebut, kata-kata “kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan” disebutkan sebagai pendamping kata-kata tentang kekayaan. Menurut sebagian mufasir, kata-kata ini mengacu kepada hak memimpin sebagai implikasi dari nasab (keturunan). Hal ini berarti, kepemimpinan berdasarkan keturunan juga dinegasikan.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”

Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Seorang pemimpin juga harus memiliki sifat wasathan. Sifat tersebut seringkali diartikan berada di pertengahan, adil, ataupun moderat.

Sifat tersebut juga dapat diartikan secara lebih luas lagi, seperti diartikan sebagai akseptabel, yaitu dapat diterima semua kalangan sebagaimana konteks ayat yang mengandungnya. Ayat tersebut terdapat dalam Q. S. Al-Baqarah (2) : 143, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.

Selain itu, kita harus memilih pemimpin yang ikhlas mengajukan dirinya demi kemaslahatan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi atau partainya.  Hal ini sebagaimana Q. S. Yaasiin (36) : 21, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Tentunya hal ini sulit untuk ditakar karena dalam setiap kampanye, para calon pemimpin senantiasa menyampaikan janji-janji terkait program-program dan capaian-capaian ke depan. Tak jarang, para pemimpin tersebut dibantu media-media yang berafiliasi dengannya dalam meroketkan citra dirinya sebagai pemimpin yang merakyat.

Karena itu, setiap warga perlu mencatat baik-baik janji setiap calon saat kampanye lalu melakukan pengawasan terhadap keberjalanan pemerintahannya. Poin-poin tersebut lalu diberikan tanda apakah sudah terlaksana atau belum di akhir suatu periode evaluasi. Demikianlah fungsi rakyat seharusnya sebagai pengawas utama pemerintahan, yang selama ini, masih belum berfungsi di Indonesia.

Parameter yang berkaitan dengan itu adalah ketuntasan dan tingkat amanah. Jika seorang pemimpin benar-benar ikhlas mengajukan diri, tentunya sampai akhir masa jabatan, ia akan berusaha menuntaskan peran dan menjaga keterlaksanaan amanah. Hal ini dapat kita lihat pada sikap dalam mengemban amanah yang dimiliki oleh Nabi Musa yang menggenapkan masa kerja selama delapan tahun bahkan menambah baktinya sampai sepuluh tahun dalam Q. S. Al-Qasas (28) : 27-28.

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (27)

Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. (28)

Jika dalam evaluasi keberjalanan yang dibuat oleh rakyat, seorang pemimpin bahkan belum genap satu tahun menjalankan janji-janjinya saat kampanye sudah keluar dan mengambil amanah di tempah lain, pemimpin tersebut seharusnya dicap tidak tuntas. Jika memang diperlukan percepatan mobilisasi ke atas, haruslah terdapat pengganti yang bervisi yang sama dan disetujui oleh lembaga-lembaga pemerintahan dan terutama rakyat.

Bisa jadi, rakyat memilih pemimpin dan wakil pemimpin karena figur si pemimpin itu yang dinilai merakyat. Jika ia hengkang dan secara sistem otomatis wakilnya yang mengambil alih jabatan, harus dapat dipastikan bahwa wakilnya itu tetap berpihak kepada rakyat dan tidak menjual kepentingan rakyat kepada pasar.

Kisah Nabi Yusuf juga menekankan perlunya sikap menjaga amanah, sebagaimana terdapat dalam Q. S. Yusuf (12) : 55. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.

Lalu bagaimana hukum memilih pemimpin non muslim? Hal ini di luar kapasitas akademik penulis untuk menjawab. Namun, penulis akan mencoba mengutip buku Tafsir Al Mishbah, tulisan Quraish Shihab. Dalam buku tersebut, pada volume 3 yang membahas tentang Surah Al Maidah, Shihab membahas tentang ayat 51 yang belakangan ramai diperbincangkan terkait adanya calon non muslim di Pilkada.

Menurut Shihab (2005), kata auliya’ adalah bentuk jamak dari kata waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf waw, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, yang lebih utama, dan lain-lain, yang sekemuanya diikat oleh benang merah kedekatan … Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya.

Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatan itu dia pula yang pertama membantunya … Thabathabai, mufassir Syiah kenamaan itu, ketika menafsirkan ayat ini berbicara panjang lebar tentang auliya’ … Dan, kalau dalam konteks ketaatan, maka waliy adalah siapa saja yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya[1].

Demikianlah beberapa dalil dalam Quran  tentang memilih pemimpin dalam Islam. Mengingat keterbatasan waktu dan kesempatan serta kapasitas akademik penulis dalam bidang ini, tulisan tersebut masih memerlukan banyak perbaikan. Semoga dapat bermanfaat dan memberikan hikmah kepada pembaca.

Sumber : qureta.com

Translate »