Saya fisikawan, bukan sejarawan, tapi sejak beberapa tahun ini saya semakin tertarik dengan sejarah ilmu pengetahuan… salah satu cerita paling menakjubkan dalam perjalanan manusia.”

Itulah kalimat pembuka buku Steven Weinberg yang terbit enam tahun silam, To Explain the World – The Discovery of Modern Science. Buku ini adalah hasil perenungan dia setelah beberapa tahun memberi kuliah tentang perkembangan ilmu di tempatnya mengajar, Texas University, Austin. Di dalamnya boleh kita lihat dengan jelas bagaimana seorang maestro pakar fizik kontemporer menilai puncak-puncak pencapaian masa lalu, dari Thales di Miletus (Yunani Klasik) hingga Einstein di Eropah pada abad ke-20.

Steven Weinberg meninggal bulan lalu pada usia 88 tahun, dengan nama harum sebagai salah satu teoritisi terkehadapan yang melahirkan The Standard Model, penyatuan pandangan yang relatif koheren tentang elemen-elemen fundamental di alam semesta. Sebagai fisikawan dia mendapat Penghargaan Nobel pada 1979 (bersama Abdus Salam dan Sheldon Glashow). Dalam hal ini, tidak ada kontroversi dan semua sepakat bahawa sumbangan dia luar biasa penting.

Namun sebagai penulis tentang sejarah ilmu, pandangannya menjadi bahan perdebatan tajam, mungkin hingga hari ini. Dalam buku tadi, tak terhindarkan kesan bahawa dia mengambil posisi seperti koboi Texas, dengan tembakan lurus terhadap kaum pemikir yang dianggap raksasa masa lalu.

Misalnya, dia berkata bahawa Francis Bacon dan Descartes sebenarnya sering keliru, dan peranan mereka kerap terlalu dibesarkan. Sementara tentang Plato dan Aristoteles dia menyimpulkan seperti ini: “I confess that I find Aristotle frequently tedious, in a way that Plato is not, but although often wrong Aristotle is not silly, in the way that Plato sometimes is.”

Steven Weinberg bukan orang yang segan atau ragu membuka kartunya. Pandangannya terhadap sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, boleh dikategorikan sebagai a Whig interpretation of history. Dia melihat pencapaian masa lalu berdasarkan perkembangan di masa kini. Sejarah ilmu bergerak seperti garis lurus, dari kegelapan menuju kemajuan. Dalam seni dan literatur, berfikir secara perbandingan memang agak sulit: kita tidak boleh menilai apakah lukisan Picasso lebih indah dibanding lukisan Michelangelo, atau novel Hemingway lebih bermutu dibanding karya Dante. Namun dalam ilmu pengetahuan, buat dia, soalnya jauh lebih jelas.

Dia tahu, pandangan ini mungkin tidak sensitif atau bertentangan dengan paham relativisme ilmu yang popular dalam beberapa dekad  terakhir. Tapi buatnya, hanya dengan cara ini kita boleh memahami betapa tidak mudah serta betapa berharganya pencapaian yang berhasil manusia raih sejauh ini dalam menjelaskan dunia dan alam sekitarnya.

Tokoh terbesar bagi Steven Weinberg adalah Isaac Newton. Pemikir Inggeris ini, pada pertengahan abad ke-17, melahirkan sintesis baru, menyatukan penjelasan tentang apa yang tampak di langit (matahari, bulan, planet, dan bintang-bintang) dengan apa yang terlihat atau terasakan di bumi (buah apel yang jatuh, naik-turun permukaan laut, gerak teratur sebuah pendulum). Penjelasan ini, kalau disingkat, disebut teori graviti. Dan Newton menciptakan matematik baru – kalkulus, atau kalau dalam istilah dia sendiri, fluxion – untuk merumuskan pembuktian hujahnya.

Sintesis baru inilah yang menjadi kemuncak revolusi ilmu yang dimulai sekitar seabad sebelumnya oleh Copernicus, Kepler, dan Galileo. Setelah Newton, potret yang tampak semakin jelas bahawa realiti semesta diatur oleh beberapa hukum alam yang sederhana, saling berhubungan, serta dapat dijelaskan dengan formula elegan, seperti E = mc².

*

Yang menarik, di sebalik penjelasan teknikalnya yang mendalam tetapi mudah difahami, pada Steven Weinberg kita boleh merasakan getaran penolakannya yang kuat terhadap konsep tentang Tuhan dan semangat keagamaan. Dia memang jenis penembak lurus, tapi penolakan ini harus difahami dalam perspektif yang luas.

Dia melihat bahawa sejak terbitnya pemikiran manusia untuk memahami dunia sekitarnya, konsep supernatural selalu hadir, walaupun dibungkus dengan berbagai istilah, seperti “bentuk ideal” oleh Plato, “penggerak yang tak bergerak,” atau “penyebab yang tak disebabkan,” atau prima causa oleh Aristoteles, dan semacamnya. Tetapi sampai tingkat tertentu, kalau konsep ini tidak dipisahkan dengan konsep lain dalam membaca realitas, atau kalau teologi tidak dipisahkan dari astronomi misalnya, potensi perkembangan ilmu hanya berputar di tempat.

Itu sebabnya, menurut Steven Weinberg, pada zaman Yunani Klasik, atau pada era keemasan Islam di abad ke-10, walaupun kemampuan matematik dan astronomi sudah cukup maju dan berkembang, ilmu pengetahuan dalam pengertian moden tidak mungkin lahir.

Singkatnya, bagi Steven Weinberg, perkembangan ilmu memang ditentukan oleh pelbagai masalah teknik dalam teori, metod berfikir, serta dalam penciptaan instrumen pengukuran. Namun sebahagian lagi, dan pada awalnya mungkin paling penting, perkembangan ini dipengaruhi juga oleh kemampuan manusia dalam mengambil jarak atau melakukan pemisahan antara agama dan ilmu, antara konsep ketuhanan dan pandangan tentang alam semesta.

Revolusi ilmu pengetahuan, dalam pandangan seperti ini, adalah kulminasi (puncak tertinggi) dari sebuah proses panjang yang oleh Max Weber disebut entzauberung, pencerahan manusia dari pelbagai elemen irasionalitas (tidak rasional) yang menjadi penjara bagi fikiran terbuka.

Isaac Newton, dari sudut pandang ini, sebenarnya adalah sebuah contoh yang unik. Seperti dikatakan Steven Weinberg, tokoh jenius ini berada di puncak revolusi ilmu. Namun pada saat yang sama, dia juga sangat terobsesi dengan kitab-kitab agama: dia meluangkan lebih banyak waktunya untuk mencari pembuktian sabda Tuhan, baik dalam usia alam semesta, mahupun dalam hal-hal yang remeh seperti pencampuran cairan awet muda (the elixir of life) atau pengubahan besi menjadi emas (alchemy).

Kerana obsesi seperti itu, John Maynard Keynes, ilmuwan dan pakar ekonomi terkemuka abad ke-20, berkata bahawa Newton sebenarnya adalah the last of the Babylonians, seseorang yang menatap langit penuh takjub dan ingin mencari rahsia penciptaan di sebaliknya, sebagaimana yang dilakukan kaum pendeta di Sumeria dan Mesir kuno 10.000 tahun silam. Keynes mengatakan hal ini bukan dengan mengejek, tetapi justeru dengan penuh kagum.

Faktanya adalah, Newton mampu memisahkan kedua hal itu: Tuhan dan agama sebagai obsesi, serta ilmu sebagai metod berfikir dan proses pembuktian lewat nalar, reason. Dalam hal terakhir ini, setelah melakukan “revolusi” lewat cara perhitungan baru dalam merumuskan dan membuktikan teori gravitiviti, dia kemudian berkata dengan ungkapannya yang terkenal ini: I do not feign hypotheses.

Dia boleh menjelaskan mekanisme atau hukum alam yang berada di sebalik pergerakan planet mengelilingi matahari. Dia boleh menghitungnya dengan presisi [ketepatan] tinggi. Tapi kenapa hukum alam tersebut seperti itu? Atau dari mana dan kenapa graviti harus ada? Newton sedar bahawa jawaban terhadap pertanyaan ini tidak lagi berada dalam wilayah ilmu dan nalar. Dia tidak tahu dan tidak berpretensi [berpura-pura] untuk tahu. Dan kerana itu, dia bahkan tidak ingin mengajukan hipotesis apa pun.

Hal ini sangat berbeza dengan kaum pemikir dalam masa transisi atau di awal revolusi ilmu, seperti Thomas Aquinas, Descartes, bahkan Copernicus. Dalam darjat yang berbeza-beza, jiwa dan pemikiran mereka masih terus berada dalam ketegangan atau tarik-menarik antara reason dan revelation. Descartes, misalnya, setelah melahirkan aksioma “aku berpikir maka aku ada” masih perlu memasukkan konsep “pencipta yang baik hati” dalam struktur penjelasannya agar keseluruhan argumen dia tentang realiti boleh diterima secara logik.

Pada Newton, dilema dan tarik-menarik tersebut sudah dianggap selesai. Ia tidak lagi terbebani, dan menerima bahawa agama dan ilmu merupakan dua hal yang sama sekali berbeza. Gravitiviti adalah hukum alam, dan tugas ilmu untuk menjelaskan mekanismenya, menghitungnya, bukan mencari sebab-musababnya sampai ke hujung, apalagi mengaitkannya dengan pelbagai hal yang tidak mungkin terjangkau oleh nalar.

*

Kurang lebih, seperti itulah Steven Weinberg memandang hubungan ilmu dan agama. Dia lebih tepat disebut ilmuwan pasca-agama. Dalam cara pandang terhadap manusia, ilmu dan sejarah, dia memang Wiggish to the bone, namun dia jauh dari sikap anti atau kontra pada agama. Dia bahkan sedar serta sangat menghargai Abdus Salam, seorang penganut sekte Ahmadiyah yang taat, kawannya penerima Penghargaan Nobel Fisika dari Pakistan.

Kerana itu, Steven Weinberg berbeza dengan sebahagian ilmuwan atau filsuf moden “garis keras” yang sering menyerang agama dan konsep ketuhanan, serta menganggap semua itu hanya sebagai ilusi yang berbahaya. Penolakannya terhadap agama sebenarnya bukanlah terhadap agama itu sendiri, tetapi lebih terhadap holism [satu bentuk pemikiran terhadap alam semesta sebagai satu sistem yang sempurna, bukan merupakan kesatuan daripada bahagian-bahagian yang terpisah] dan cara berpikir yang convoluted [berbelit-belit].

Beberapa kali Steven Weinberg mengutip Edward Gibbon, sejarawan Inggeris di akhir abad ke-18 yang kerap disebut the First Modern Historian. Salah satu yang dikutipnya adalah penggambaran Gibbon tentang suasana rileks dan toleran pada puncak kejayaan Empayar Rom, suatu masa ketika “agama bagi rakyat atau pengikutnya bersifat absolut [mutlak], bagi para filsuf meragukan, dan bagi kaum pemimpin bermanfaat.”

Dia memahami, konsepsi ketuhanan dan agama tidak akan pernah hilang. Dia mungkin hanya tersenyum, tetapi yang pasti dia harapkan adalah suasana rileks dan toleran terhadap semua itu. Hanya dengan begitu ilmu boleh dipacu lebih cepat lagi demi kemajuan manusia. Pada dasarnya, inilah esensi faham yang sering disebut Whiggism di Inggeris pada Zaman Pencerahan lebih dua abad silam.

Dalam bukunya yang lain, The First Three Minutes (1977), dia pernah menulis, the more the universe seems comprehensible, the more it also seems pointless. Kekuatan ilmu memang terletak di situ: pemahaman yang lebih tajam terhadap realiti, namun untuk masalah nilai, moraliti, atau tujuan kehidupan, kita harus mencarinya di tempat lain.

Steven Weinberg sendiri, dalam hidupnya yang panjang, membangun hubungan keluarga yang akrab dan taat, serta menikmati teater, seni, dan pergaulan yang luas. Dalam suasana hangat dan kreatif di Texas dia melihat puncak-puncak pencapaian ilmu dalam sejarah dengan tokoh-tokoh utamanya di Athen, Alexandria, Baghdad, London.

Dari Thales ke Newton, dari Euclid hingga Einstein, kemajuan ilmu pengetahuan barangkali boleh dianggap sebagai satu dari sedikit unsur yang tetap dalam sejarah. Dan bagi Steven Weinberg, walaupun sering mengupas kelemahan raksasa masa lalu yang dianggapnya keliru atau salah jalan, dia tetap percaya bahawa pencapaian ilmu sekarang ini sudah cukup jauh dalam menjelaskan pelbagai elemen fundamental, termasuk dalam menggambarkan reality subatomik yang unik dan hanya dapat dijelaskan lewat kemungkinan, bukan kepastian.

Dia senantiasa bersikap optimistik, namun dalam penutup To Explain the World, bukunya yang disinggung di awal tulisan ini, dia juga berkata, humans may not be smart enough to understand the really fundamental laws of physics. Dia memandang ke depan penuh harapan, namun dia juga mengerti bahawa selalu ada batas yang tak terperi, dan pada esensinya yang ada hanyalah sejumlah kemungkinan.

 

Sumber: Rizal Mallarangeng, https://www.qureta.com/

 

Translate »