Darimana, dan siapa diri kita ini? Bagaimana kita tercipta dan menjadi?. Sudah sejak ribuan tahun silam pertanyaan tersebut muncul di kalangan ahli pikir kalangan Yunani. Perihal pertanyaan mengenai konsep diri tersebut juga selalu menjadi pertanyaan yang menggema dalam diri kita, sebagai manusia yang berakal. Siapa kita, bagaimana kita menjadi ?.
Seorang filusuf dari Jerman, Nietchze pernah berkata bahwa identitas bagi manusia merupakan hal yang sangat penting. Siapa yang menghilangkan identitas, maka secara tidak langsung ia telah membunuh Tuhannya. Dari apa yang disampaikan oleh Nietchze dapat kita maknai, bahwa mengetahui identitas menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan kita. Dengan memahami konsep diri, kita akan mengenali identitas diri, kemudian menyadari untuk apa dan bagaimana kita hidup. Disisi lain, dalam agama islam ada istilah siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.
Dalam kehidupan sehari-sehari, kita tidak asing bila ada orang yang mengatakan eling dan waspada. Dari kedua kata Jawa tersebut, hanya kata waspada yang terserap dalam bahasa Indonesia. kata eling kemudian biasa diterjemahkan dengan kata “ingat” atau “sadar”. Walaupun sebenarnya makna kata eling lebih luas ketimbang kata ingat atau sadar. Sedangkan kata waspada dapat kita pahami sebagai sebuah keadaaan yang senantiasa siaga. Artinya selalu awas. Karena bagaiamanapun, hidup di duna ini sebenarnya berada dalam belenggu kepura-puraan. Sebab ketidak tahuan kita akan arah tujuan dalam hidup, sehingga kita kemudian mencari pegangan hidup.
Pertanyaannya adalah, apakah kemudian kita sudah memiliki pegangan hidup?. Jika sudah, apakah kita sudah menyadari, bahwa kita telah memiliki pegangan dalam hidup kita?.
Kita yang notabenya sebagai mahluk sosial akan menjalani kehidupan secara kolektif, hidup bersama yang akan membentuk keadaan tertentu di lingkungan di mana kita tinggali. Dengan kata lain, kita akan memiliki kewajiban bukan hanya sebagai individu, tapi juga sebagai salahsatu unsur dalam berbagai sistem. Disitulah perlunya sebuah pegangan dalam menjalani hidup.
Perlunya kesadaran akan semua kewajiban yang melekat dalam diri kita tidak lain untuk menciptakan keadaan sosial dan keadaan diri yang aman, damai dan tentram. Namun sayangnya, kita seringkali tidak mampu menyadarinya. Atau, menyadari tapi tidak menjalankan apa yang telah disadari dan seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. Baik kesadaran terhadap kewajiban kita sebagai anak, kakak/adik, seorang pelajar/mahasiswa, organisatoris, pimpinan, masyarakat, ataupun sebagai ciptaan.
Lebih ekstrem lagi, tidak jarang kita baru sadar ketika akibat atas apa yang telah kita lakukan ternyata adalah hal yang merugikan. Kita baru sadar kita sesuatu sudah tiada. Kita baru sadar ketika bencana menimpa. Kita baru sadar bahwa membuang sampah pada tempatnya itu penting ketika keadaan lingkungan kotor, atau sampah telah menumpuk, atau bahkan bencana banjir telah menimpa.
Kita baru sadar bahwa kita begitu membutuhkan kasih sayang dari orang tua ketika kita jauh dari mereka. Kita baru sadar bahwa kesehatan penting ketika sakit datang. Kita baru sadar betapa pentingnya waktu ketika kita tidak memiliki waktu luang untuk sekedar duduk bersantai, dan kondisi lainnya yang kemudian membuat kita sadar. Ini artinya kesadaraan kita selama ini terbentuk oleh keadaan. Bukan kesadaran yang membentuk keadaan.
Berkaitan dengan konsep kesadaran, ada seorang ulama pernah ditanya tentang tipe manusia. Dan beliau menjawab demikian; ada empat jenis manusia di dunia ini.
Pertama, orang yang tahu dan mengetahui bahwa dirinya tahu. Ini adalah golongan orang yang sadar bahwa ia adalah orang yang memiliki pengetahuan, sehingga orang ini dengan penuh kesadaran membentuk keadaan dengan kesadaran pengetahuan yang dimiliki. Sederhananya, pemaknaan dari golongan ini adalah golongan orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.
Kedua, orang yang tahu tapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Ini adalah tipe orang yang memiliki pengetahuan, namun ia tidak sadar bahwa dia adalah orang yang tahu. Orang yang berilmu, namun mereka tidak tahu bahwa dirinya berilmu.
Ketiga, adalah tipe orang yang tidak tahu tapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sederhananya adalah orang yang tidak tahu, namun dia tahu bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia mau belajar dan mencari tahu.
Keempat, adalah golongan orang yang tidak tau dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Golongan ini adalah golongan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya orang yang tidak mengetahui dan karena itulah ia tidak mau belajar dan mencari tahu.
Dari cerita singkat ini ada ibrah (pelajaran) yang dapat diambil sebagai renungan bagi kita. Termasuk ke dalam golongan yang manakah kita ini?. apakah golongan pertama, kedua, ketiga, ataukah keempat?. Dan apakah kita akan menunggu keadaan yang menyadarkan kita, ataukah dengan penuh kesadaran kita akan menciptakan keadaan?.
Sumber: Mahbub Ubaedi, qureta.com.
Recent Comments