TANYAKAN  kepada anak-anak sekolah sampai kakek nenek kita, siapakah yang menyatukan Nusantara? Apakah mereka menjawab Islam dan bahasa Melayu? Jika tidak menjawab seperti itu, maka jelas ada masalah dalam pengajaran sejarah kita.

Padahal, sejak tahun 1970-an, pakar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sudah mengungkapkan, bahwa ’Islam dan Bahasa Melayu’ adalah faktor yang paling signifikan dalam proses penyatuan Nusantara. Gagasan itu diungkap al-Attas melalui buku ’klasik’ nya, Islam and SecularismIslam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan sejumlah karya lainnya. Yang terakhir adalah karya besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011).

Melalui buku ini, al-Attas berhasil memberikan gambaran tentang keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini.

Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam, merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara.

(The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language  as an important source material for the study of history.” (Historical Fact and Fiction (HFF), hlm. xvi).

Jadi, menurut al-Attas, disamping faktor agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan.  Dalam buku Historical Fact and Fiction, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi, atau kaum Syiah, secara sambilan atau asal-asalan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber China dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para pendakwah Islam yang utamanya adalah para ulama dari Arab.

Islamisasi di wilayah seluas ini bukanlah pekerjaan sambilan dan asal-asalan, tetapi terencana dengan matang: “the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (Historical Fact and Fiction, hal. 32).

Gambaran ini sangat berbeda dengan paparan umum di sejumlah buku pelajaran yang menggambarkan seolah-olah aktor utama penyebaran Islam di Nusantara adalah kaum pedagang, yang tidak memiliki rencana yang sistematis untuk meng-Islam-kan wilayah Nusantara.

Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi dalam bahasa Melayu misalnya bisa dilihat dari masuknya nama-nama hari yang dimulai hari kesatu sampai hari ketujuh Ahad, Senin (Isnain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi’), Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi’). Masuknya kata Minggu, mengantikan Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis.  Kata Domingo mulai digunakan pasca penaklukan Malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu mengantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa Melayu-Arab. (Historical Fact and Fiction, hal. 136).

Bukti lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramaut,  – bukan Persia – dalan penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima simbol  lima fonem Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab, yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya.  Misal, untuk mendapatkan bunyi “Nya”, yang merupakan bunyi antara huruf “Nun” dan “Ya”.  Untuk mendapatkan bunyi “Nya”, dua titik huruf “Ya” ditambahkan ke huruf “Nun”, sehingga didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf, maka alfabet Melayu-Arab menjadi 33 huruf. (Historical Fact and Fiction, hal. 137-138).

Keberhasilan Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik dengan Islam. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam di wilayah Nusantara.  Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu.

Kitab-kitab itu pulaun dijadikan pegangan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Nusantara. Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiah dan bahasa persatuan. Ini ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa Pengantar.

Inilah salah satu bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kepulauan Nusantara. Ini juga menunjukkan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matang dan sungguh-sungguh.

Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan serius oleh para orientalis penjajah Belanda. Dua langkah dilakukan penjajah, yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader cendekiawan sekuler.

Sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kalangan Kristen. J.D. Wolterbeek dalam bukunya,  Babad Zending di Pulau Jawa,  mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”   Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan:  “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Indonesia (2009).

Hingga kini, Bahasa Melayu masih dipakai oleh sekitar 300 juta Muslim Melayu di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Laos, Kamboja, dan sebagainya. Kaum muslim mestinya memelihara dan mengembangkan Bahasa Melayu ini dengan sebaik-baiknya. Para akademisi perlu terus mengembangkan Bahasa ini agar menjadi bahasa ilmiah yang digunakan dalam dunia akademik.

Karena itu Bahasa Melayu harus menjadi kebanggaan dan alat komunikasi di seluruh wilayah peradaban Melayu. Inilah yang dulu menyatukan Nusantara. Jangan sampai Bahasa Melayu rusak, sehingga hilang fungsinya sebagai bahasa dakwah dan Bahasa persatuan Nusantara. (Depok, 3 Februari 2021).*

 

Sumber: Dr. Adian Husaini,https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2013/03/27/134/temuan-penting-dr-eka-putra-tentang-harun-nasution.html

 

 

Translate »