Benarkah Habbatus Sauda dan Madu Bisa Mencegah dan Mengobati Wabah?

Jawabnya tentu bisa, akan tetapi untuk bisa menjadi obat perlu konsep thibbun nabawi yang benar.

Salah satunya adalah harus sesuai dosis dan indikasinya. Jadi yang diperlukan sekarang adalah berapa dosis dan campuran yang tepat untuk mencegah dan mengobati wabah tersebut.

Pentingnya dosis dan indikasi dijelaskan oleh ibnul qayyim berdasarkan hadits orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alahi wa sallam mengadu bahwa saudaranya kena diare, kemudian disarankan agar minum madu, ia datang berulang-ulang kali dan akhirnya sembuh.

Berikut haditsnya:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ. فَقَالَ: اِسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: فَعَلْتُ. فَقَالَ: صَدَقَ اللهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيْكَ، اسْقِهِ عَسْلاً. فَسَقَاهُ فَبَرَأَ

“Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya (dalam riwayat lainnya: sakit diare).’

Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’

Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya,

Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’

Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga,

Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’

Nabi bersabda: ‘Allah Maha Benar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’

Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.”(HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini dijelaskan oleh seorang Dokter dan ulama besar Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah. Beliau menekankan perlunya dosis dan sesuai dengan penyakitnya (indikasi). Beliau berkata,

وفي تكرار سقيه للعسل معنىً طبي بديع وهو: أن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب حال الداء

“Memberikan minum madu dengan berulang kali menunjukkan mengenai ilmu kedokteran yaitu obat harus sesuai dosis dan jumlahnya sesuai dengan keadaan penyakitnya.” [Thibbun Nabawi hal 29, Darul Hilal]

Demikian juga penjelasan Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu, beliau berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.” [Fathul Baari 10/169-170, Darul Ma’rifah]

Penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani sejalan dengan ilmu kedokteran saat ini. Dalam kedokteran modern dikenal ungkapan,

“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy”

“Semua zat adalah (berpotensi menjadi) racun. Tidak ada yang tidak (berpotensi menjadi) racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat” [Toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006]

Perlu diketahui bahwa satu penyakit atau satu wabah berbeda-beda dosisnya, tidak bisa dipukul rata, misalnya pada anak, pada dewasa, pada daerah ini dan kondisi seperti itu. Lalu, bagaimana dosis yang benar? Ini butuh ilmu para pakar thibbun nabawi dan thabib yang berpengalaman, kita berharap mereka segera menemnukan dosis yang tepat. Atau melalui penelitian ilmiah yang menyingkirkan semua faktor kebetulan. Penelitian akan dosis dan indikasi ini tidak bisa segera, bisa jadi butuh waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Hendaknya tidak sembarangan mengklaim “ini obat nya” perlu diuji dahulu dan lihat dahulu (direview) oleh pakar dan ahli yang lainnya, bukan hanya klaim sepihak dari satu sisi saja. Inilah ilmu EBM (Evident Based Medicine) yang konsepnya ditemukan oleh Ar-Razi. Apabila semua orang bisa mengklaim “ini obatnya” tentu tidak bisa dijamin kebenaranNya. Apabila obat itu hanya klaim semata dan tidak menyembuhkan bahkan membahayakan, maka ia telah melakukan malpraktek dan wajib bertanggung jawab.

Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah]

Demikian semoga bermanfaat. Kita doakan semoga para pakar thibbun nabawi menemukan dosis dan indikasi yang tepat, serta para ilmuan segera bisa menemukan vaksin untuk penyakit dan wabah yang ada

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Translate »