Beberapa kajian tentang ayat Al-Quran terkait isu poligami kini semakin banyak. Karena Al-Quran sering kali dijadikan sebagai legitimasi karena memuat ayat tentang poligami di dalamnya. Dari dulu hingga sekarang, kajian terkait ayat-ayat poligami memang selalu berulang. Hal ini mengingat fenomena poligami yang sering kali terjadi dan tak pernah habis. Terlebih fenomena poligami itu terjadi pada kalangan ulama populer atau ternama di Indonesia ini yang memancing perbincangan pro dan kontra khalayak umum sampai sekarang.

“Beristri lebih dari seorang itu sunnah asalkan adil” menjadi jargon satu-satunya bagi mereka yang mendukung poligami. Adil yang dimaksud tentunya dirujukkan pada salah satu ayat dalam Al-Qur’an (QS An-­Nisa [4]:3) untuk mendapatkan legitimasi, dan mungkin agar terlihat lebih islami. Bahkan dalam beberapa perbincangan antar teman di media sosial, Anda bisa jadi dianggap tidak islami karena menolak poligami yang dianggap adil itu. Namun pertanyaannya, adil yang dimaksud itu adil menurut siapa?

Hal ini juga yang menggelitik saya untuk menulis karena perdebatan panjang terkait poligami yang tak kunjung selesai untuk dikupas di linimasa media sosial. Saya menyadari bahwa pro-kontra akan selalu ada, karena penyeragaman pendapat adalah hal yang mustahil dicapai. Apalagi negara ini menganut demokrasi, jadi perbedaan pendapat selayaknya harap dimaklumi. Secara umum pernikahan/perkawinan sendiri adalah upacara sakral yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang ingin membangun sebuah biduk rumah tangga dan sifatnya kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan dalam Islam bisa disebut dengan Ijab Qobul (akad nikah), pernikahan hanya dengan seorang istri saja dinamakan dengan sistem pernikahan monogami. Adapun sistem pernikahan lain yang dimana laki-laki dapat memiliki dua perempuan atau lebih untuk dijadikan istri-istrinya dalam waktu bersamaan, sistem pernikahan ini bernama sistem pernikahan poligami.

Dalam Islam hukum poligami diperbolehkan (mubah, tidak dilarang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang laki-laki beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Kontroversi poligami yang akhir-akhir ini dilakukan oleh para pemuka agama mendorong terjadinya diskusi publik para netizen.

Rentetan peristiwa poligami yang marak terjadi di kalangan ustadz ternama tersebut bisa menjadi contoh buruk yang mencoreng citra agama Islam. Mereka yang pro-poligami lebih banyak menggunakan dalih agama untuk melegitimasi dibolehkannya praktik poligami tersebut. Ayat yang biasa digunakan sebagai senjata para pihak pro-poligami untuk membenarkan poligami ialah QS.An-Nisa: 3 yang biasanya hanya dipahami secara parsial.

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa[4]: 3). [1]

Interpretasi akan sebuah ayat selama ini memang tidak pernah tunggal karena banyak perdebatan di kalangan ahli tafsir kitab suci itu sendiri. Meskipun secara eksplisit Islam membolehkan poligami, namun telah dijelaskan bahwa di ujung ayat tersebut juga mengandung pesan yang sangat kuat bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan monogami bukan poligami. Sayangnya karena tafsir-tafsir agama kebanyakan lebih didominasi oleh ulama laki-laki, maka suara ulama perempuan tidak banyak didengar, dan dakwah terkait tafsir ayat perkawinan monogami tidak banyak dimunculkan.

Lebih lanjut lagi juga dijelaskan bahwa akar poligami bukan berasal dari tradisi Islam, sebab tradisi poligami sudah dilakukan sejak sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Poligami juga bisa ditemukan pada banyak kebudayaan di berbagai negara. Jadi, ketika para pelaku poligami menggunakan dalih karena sunnah Nabi, pertanyaannya adalah sunnah yang bagaimana? Pembenaran seperti ini justru sangat kontradiktif dan menggelikan.

Dimana faktanya adalah Nabi Muhammad SAW melakukan monogami selama kurang lebih 28 tahun dan baru berpoligami selama 8 tahun setelah Khadijah r.a wafat. Bahkan Nabi pun menolak anaknya Fatimah dimadu oleh Ali. Nabi Muhammad SAW sempat berujar demikian: “Apa yang menyakiti Fatimah, juga menyakitiku. Karena itu, Demi Allah, Tidak akan berkumpul putri Rasulullah SAW dan putri musuh Allah dalam naungan satu lelaki selamanya” (H.R Bukhori dan Muslim).[2] Dalam Al-Qur’an (QS.An-Nisa[4]: 129) yang artinya :

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[3].

Maka telah jelas bahwa laki-laki sesungguhnya tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka dari itu dianjurkan untuk memiliki satu istri saja. Namun pandangan orang awam yang hanya mengambil ayat tertentu tentang poligami, mereka kemudian melakukan poligami tetapi dibarengi dengan nafsu atau ketidakpuasan terhadap perlakuan istri yang pertama.

Bahkan pada zaman ini, banyak tokoh-tokoh agama seperti yang tersebut diatas, yang melakukan poligami dengan dalih hal itu adalah salah satu langkah untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW tapi kenyataannya mereka memilih wanita-wanita yang lebih muda dibanding istri pertama dan lebih cantik yang menggambarkan bahwa mereka juga menggunakan nafsu dalam memilih nya yang belum tentu istri perrtama benar-benar ridho akan hal tersebut.

Yang disebut sebagai keadilan adalah bukan hanya dalam bentuk angka-angka saja, tetapi juga perasaan sang istri. Bisa saja secara materi telah adil atau membagi sesuatu sudah dengan adil sama rata. Tetapi hati perempuan sesungguhnya tidak ada yang ingin diduakan atau dibagi dengan yang lain. Di sanalah letak ketidakadilan yang tidak bisa ditanggulangi oleh laki-laki manapun. Semisal sang istri mengalami kecacatan, ketidakpuasan atau bermasalah tentang keturunan, maka poligami bukanlah jalan keluar.

Jika suami melakukan poligami, maka apa perasaan sang istri? Bukankah seharusnya mengalami pahit dan manis bersama-sama dalam menjalankan rumah tangga? Ketersalingan itulah kunci untuk menjalani takdir-Nya, bukan mencari jalan pintas dengan nafsu dan ego belaka. Jikalau masalah keturunan, maka bisa mengadopsi dari panti dan apabila ada kekurangan secara fisik maka seorang suami seharusnya lebih bisa mengayomi dan melindungi sang istri. Jadi hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya poligami tidak boleh kecuali mereka dapat menanggung beban dosanya di akhirat kelak karena kurang baik dalam melakukan hak keadilan tersebut.

Jika kemudian bercerai karena poligami tersebut, maka tidaklah mengapa seperti yang tertulis dalam (QS.An-Nisa[4]:130&149) meski sebenarnya hal itu dibenci oleh Allah dan jika itu satu-satunya jalan, karena Allah akan memberi kecukupan pada masing-masing keduanya dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Bijaksana. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa jika benar satu-satunya jalan adalah perceraian. Karena memang dalam hal hati sesungguhnya tidak ada yang bisa dibagi secara adil, pasti ada kecenderungan pada sisi lain dalam hal tersebut dan diketahui bahwa keadilan terhadap istri-istri itu memang tidak dapat tercapai.

Sumber : Qureta.com

[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya (QS.An-Nisa[4]:3)

[2] Miftakhul Risal. 2017. “Nabi Tak Prioritaskan Poligami”. Diakses dari https://islami.co/nabi-tak-prioritaskan-poligami/. 30 November 2018.

[3] Al-Qur’an dan Terjemahannya (QS.An-Nisa[4]:129

Translate »