William Montgomery Watt merupakan seorang professor studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinurgh (1909-2006). Dalam bidang kerohanian, Montgomery Watt dikenal sebagai pendeta di gereja Episkopal Skotlandia. Selama perjalanan pendidikannya ia menyelesaikan studi formal bahasa Arab klasik hingga diangkat menjadi spesialis bahasa Arab untuk Uskup Anglikan dari Yerussalem pada 1943-1946.

Sebagai penganut Kristen yang setia, ia mengakui adanya sistem kenabian dan nabi-nabi dalam Bibel. Ia merupakan seorang penulis yang menghasilkan berbagai karya terutama dalam bidang kehidupan. Ketertarikannya pada dunia teologi Islam membuatnya melakukan penelitian terhadap al-Qur’an terfokus pada aspek historisitas.

Sebagai Orientalis sekaligus pakar studi Keislaman dari Britania Raya, ia memiliki kecenderungan yang berbeda dari sarjana Barat lainnya. Melalui dua mahakarya terkenalnya mengenai sirah Nabi yakni Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956), ia tampil sebagai peneliti yang moderat.

Dalam kajiannya mengenai sirah Nabi dan al-Qur’an, ia mencoba mengambil posisi netral dan menyembunyikan sudut pandang agamanya. Ia melakukan studi kritik terhadap the Introduction to the Qur’an, sebuah karya Richard Bell yang menguraikan mengenai latar belakang sejarah kehidupan dan karakter Nabi Muhammad serta pandangan para sarjana Muslim dan Barat mengenai sejarah, bentuk dan kronologi al-Qur’an.

Konsep Wahyu

Konsep pewahyuan terkait historisitas al-Qur’an dalam pandangan Montgomery Watt senada dengan apa yang dipahami oleh umat Islam. Konsep pewahyuan al-Qur’an dalam perspektif sarjana Muslim, sebagaimana dikutip dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur’an, terdapat beberapa jalan Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya, yakni melalui perantara dan tidak dengan perantara.

Melalui perantara Malaikat Jibril, sebagai pembawa wahyu.
Melalui mimpi yang benar dalam tidur

Adapun yang dimaksud mimpi di sini menurut pendapat Bint al Shati’ yakni رؤيا mimpi yang benar serta mengandung pesan-pesan spiritual dan merupakan seperempat dari kenabian. Tidak masuk kategori حلم yang hanya bermakna bunga tidur dan tidak memiliki arti.

Dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur’andijelaskan mengenai cara Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Pertama, yakni melalui dentingan suara seperti lonceng yang sangat kuat. Hal ini akan mempengaruhi kesadaran nabi dan kesiapan untuk menerimanya. Selain itu, suara yang keras tersebut ditafsirkan sebagai kepakan sayap malaikat.

Kedua, yakni melalui penjelmaan, dimana Malaikat Jibril datang kepada nabi menjelma menjadi manusia. Pada kondisi inilah Malaikat berubah dari segi rohani semata menjadi sosok jasmani manusia. Penjelmaan Malaikat Jibril menjadi manusia lebih terkesan nyaman dalam pandangan pembaca, sebab pada saat itulah terjadi dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad yang hakikatnya adalah manusia.

Dari kronologi tersebut ditarik suatu ikhtisar sebagaimana pemahaman umat Islam pada umumnya bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai utusan melalui perantara Malaikat Jibril secara Mutawatir.

Pandangan Montgomery Watt mengenai historisitas al-Qur’an bertolak belakang dengan pemahamannya terkait ayat-ayat yang mendiskusikan tentang wahyu. Dengan menggunakan metode pendekatan historis, ia melakukan analisis data berdasar pada sejarah kronologi pewahyuan yang terjadi pada diri nabi.

Dalam QS. An-Najm; 2-18 Watt memahami bahwa terdapat dua bentuk dalam persitiwa nabi ketika melihat bayangan. Montgomery Watt fokus mengkaji makna hamba yang terdapat dalam redaksi surat tersebut. Redaksi hamba menunjukkan adanya hubungan realasional antara Tuhan dan hamba.

Pada konteks ini Montgomery Watt mencoba mengalihkan pikiran spiritual umat Islam bahwasannya proses transmisi Al Qur’an kepada Nabi Muhammad yang tidak mungkin melihat Allah secara langsung, dalam konteks ini disimpulkan sebagai bayangan Malaikat. Sebagaimana terdapat pada kitab al-Tafsir al-Nabawi termaktub perbedaan pendapat mengenai redaksi QS. An-Najm وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى .

Pendapat pertama menyatakan apabila redaksi kata هو kembali (rujuk) kepada Rasul, maka hal tersebut bermakna wahyu. Kedua, jika kata tersebut mengacu kepada al Qur’an, maka nabi memiliki peluang untuk berijtihad.

Menilik dari adanya peristiwa pewahyuan al-Qur’an, menjadikan adanya kontak antara Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril. Dalam pandangan orang awam, hal ini menimbulkan tanda tanya mendalam bagaimana kontak antara keduanya berlangsung. Sanggupkah nabi memahami kata-kata yang dilontarkan oleh malaikat Jibril.

Dalam hal ini, Montgomery Watt menggunakan konsep Collective Unconscioussebagaimana yang digagas oleh Ilmuan Psikologi, Jung. Adanya konsep “bawah sadar kolektif”, menjelaskan bahwa dalam dunia alam bawah sadar, sesama manusia, atau manusia dengan alam, bahkan manusia dengan ruang angkasa terdapat relasi.

Begitupun Watt memandang wahyu dalam Islam, Yahudi dan Kristen bersumber dari sesuatu yang sama yakni alam bawah sadar manusia. Alam awah sadar menjadi alat penghubung antara agen yang dikehendaki dengan zat transenden. Dalam konteks pewahyuan al-Qur’an yakni hubungan kontak antara Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad.
Sumber : qureta.com

Daftar Pustaka

Abdurrahman Bint Shati’, Aishah. al-I’jaz al-bayani Li al-Qur’an juz 1, Beirut: Dar al-Ma’arif.

Mann and McIntosh. “Interview: William Montgomery Watt“.

Muhammad, Abdurrahim Muhammad, at-Tafsir al-Nabawi Khasaishuhu wa Mashadiruhu.

Murakami, Kazuo. 2013. Misteri DNA. Jakarta: PT. Gramedia.

Saeed, Abdullah. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an (terj). Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin.Yogyakarta: Baitul Hikmah Press.

Translate »