Munculnya kaum orientalis, yaitu sarjana non-muslim di Barat yang mengkaji dunia ke-Timur-an, memberikan warna baru di dunia Islam, terutama kajian terhadap al-Qur’an yang mereka sumbangkan. Awalnya, al-Qur’an dikenal sebagai kitab suci yang sangat terjaga dari segala keraguan, tanpa mengenal perubahan, dimana oleh kaum muslim al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman sepanjang zaman.
Namun, sejak kedatangan para orientalis, lahir banyak kajian-kajian kritis mengitari al-Qur’an. Pemikiran mereka terhadap al-Qur’an memiliki corak yang khas, jauh berbelok dari alur pemikiran para sarjana muslim. Menurut kaum orientalis, kajian tentang Islam khususnya dalam bidang al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. (Al-Makin : 2017, 69)
Pada mulanya, kajian para orientalis dikenal dengan coraknya yang khas. Yaitu sebagaimana pendapat Al-Makin dalam buku Antara Barat dan Timur (72), bahwa kajian mereka terpengaruh oleh tradisi agama Yahudi-Kristen. Ada beberapa orientalis yang menggunakan latar belakang ini untuk mengkaji dunia Islam, utamanya al-Qur’an. Seperti halnya Abraham Geiger (1810-1874), menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan imitasi ajaran Yahudi.
Geiger merupakan pencetus pertama pendekatan historis-kritis. Dalam tulisan Lenni Lestari yang meneliti tentang “Abraham Geiger dan Kajian al-Qur’an; Telaah Metodologi atas Buku Judaism and Islam” (45), Ia berpendapat bahwa dalam beberapa hal, al-Qur’an meminjam tradisi Yahudi, yaitu: 14 kosakata yang dipinjam dari bahasa Ibrani diantaranya sakinah, tagut, furqan, ma’un, masani, malakut, darasa, tabut, jannatu ‘adn, taurat, jahannam, rabbani, sabt, dan ahbar.
Selain itu, ia juga menganggap bahwa ada beberapa aspek keimanan dan doktrin keagamaan yang dipinjam Nabi Muhammad dari ajaran sebelum Islam, seperti penciptaan langit dan bumi beserta segala isinya dalam enam hari, tujuh tingkatan surga, kepercayaan tentang pembalasan di hari akhir dan kepercayaan tengang Ya’juj dan Ma’juj.
Kemudian ada beberapa aspek dalam ibadah salat yang dianggap Geiger sama dengan ajaran Yahudi, yaitu konsep salat khauf, larangan salat bagi yang mabuk, legitimasi tayammum, batalnya wudlu ketika menyentuh perempuan, etika salat berjamaah, dan aturan dalam ibadah puasa. Selain itu yang dianggap sama lagi adalah durasi masa ‘iddah perempuan selama tiga bulan dan durasi menyusui bayi selama dua tahun. Kemudian dari aspek pandangan hidup seperti harapan menjadi husnul khatimah, etika saat membuat janji, balasan kebaikan, dan amal jariah.
Lalu Geiger meyebutkan ada empat kategori kisah dalam al-Qur’an yang dianggap berasal dari Yahudi yaitu kisah Nabi Adam-Nabi Nuh, Nabi Nuh-Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim-Nabi Musa, Raja Thalut, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman. Geiger tidak setuju jika al-Qur’an dianggap kitab suci paling otentik karena banyak ajaran agama Yahudi yang dipinjam oleh Islam.
Selain Geiger, ada juga Theodore Noldeke (1836-1930), seorang sarjana Jerman yang dianggap sebagai peletak dasar sejarah al-Qur’an di kalangan Barat, yang mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa al-Qur’an terpengaruh oleh agama Yahudi. Hal tersebut karena agama Yahudi dianggap sebagai agama yang lebih tua dari Islam dan Geiger melihat adanya kontribusi pada agama Islam dari tradisi Yahudi.
Dalam bukunya, Geschichte des Qorans, yang menjadi rujukan studi sejarah al-Qur’an hingga kini, Noldeke mengkaji al-Qur’an dari segi sejarah teks, penulisan, variasi bacaan, dan hal-hal yang terkait dengan mushaf Utsmani. (Al-Makin : 2015, 86-87) Selain itu, Noldeke juga dikenal sebagai penggagas utama kajian tentang kronologi al-Qur’an. Ia menata ulang surat-surat dalam al-Qur’an menjadi bentuk yang lebih kronologis. (Abdullah Saeed, 2018 : 156)
Kemudian ada juga orientalis dari Hungaria bernama Ignaz Goldziher (1850-1921), berasal dari keluarga bertradisi Yahudi. Oleh karena itu, pandangan Goldziher terhadap Islam , utamanya al-Qur’an juga dipengaruhi oleh Yahudi. Selanjutnya, ada orientalis bernama Richard Bell, seorang sarjana barat yang tertarik untuk mengkaji al-Qur’an, terutama dalam bidang kronologi al-Qur’an.
Ia menggunakan metode kronologi sebagaimana yang digunakan oleh Noldeke untuk menata ulang surat-surat dalam al-Qur’an. Namun, Bell juga melakukan kritik terhadap Noldeke. Karena menurutnya, ada beberapa kesalahan dalam urutan kronologi surat-surat tertentu yang dilakukan oleh Noldeke. (Abdullah Saeed, 2018 : 156) Salah satu karya besar Richard Bell tentang susunan kronologi al-Qur’an adalah The Qur’an: Translated, with a Critical Rearrangement of The Surahs, yang terdiri dari dua jilid.
Karya tersebut dinilai unik, karena Bell menjadikan susunan terjemahannya untuk menata ulang secara kritis materi-materi al-Qur’an ke dalam berbagai periode pewahyuan. Ia telah memilah bagian-bagian termasuk ayat al-Qur’an ke dalam potongan-potongan kecil dalam upaya memberikan penanggalan atasnya. (Taufik Adnan Kamal : 427)
Selanjutnya sarjana Barat yang juga mengkaji al-Qur’an adalah Christoph Luxenberg. Ia adalah salah seorang orientalis yang mengatakan bahwa al-Qur’an menggunakan bahasa Syro-Aramaic. (Abdullah Saeed, 2018 : 161) Oleh karena itu, ada beberapa kata dalam al-Qur’an sulit untuk dipahami dan perlu merujuk pada bahasa Syro-Aramaic untuk memahaminya.
Luxenberg berusaha mengidentifkasi bahasa Aramaik yang digunakan oleh al-Qur’an dengan metode yang dihasilkan oleh dirinya sendiri. (Neuwirth : Qur’an and History) Dalam bukunya Die syro-aramaische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlusselung der Koransprache, Luxenberg mengatakan bahwa al-Qur’an bukan berbahasa Arab. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an diambil dari tradisi Yahudi-Kristen. (Syamsuddin Arif : Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg)
Seiring berjalannya waktu, dalam kajian para orientalis terhadap al-Qur’an telah terjadi pergeseran pemikiran yang berbeda dari corak sebelumnya. Pasalnya, kajian yang dilakukan oleh sebagian kaum orientalis seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, Ignaz Goldziher dan Richard Bell, dinilai peyoratif dan terkesan subyektit. Hal tersebut disebabkan mereka masih terpengaruh oleh tradisi-tradisi Yahudi yang mengitarinya. Sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang jauh berbeda dengan pemikiran para sarjana muslim.
Sebagaimana pendapat Al-Makin, mengatakan bahwa studi al-Qur’an di Barat bersifat dinamis. Ada sebagian dari mereka yang masih meragukan keautentikan al-Qur’an, lalu melakukan kajian kritis untuk membuktikannya, sehingga terkadang menghasilkan pemikiran yang bias. Akan tetapi, semakin ke sini kajian orientalis terhadap al-Qur’an dianggap lebih obyektif. Bahkan hasil dari kajian mereka dapat bermanfaat bagi khazanah Islam, khususnya dalam bidang al-Qur’an.
Sebagai contoh, munculnya orintalis Skotlandia, William Montgomery Watt dianggap sebagai kontributor utama di Barat dalam kajian Islam. (Abdullah Saeed, 165). Watt merupakan murid dari Richard Bell. (Al-Makin : 2017, 117) Walaupun Watt adalah murid Bell, akan tetapi ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan gurunya. Jika Bell meragukan wahyu al-Qur’an sebagai wahyu Allah, Watt memandang bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan yang memuat perintah-perintah yang valid seperti halnya Alkitab. (Abdullah Saeed, 2018 : 165) Kajian Watt kebanyakan bersumber dari kajian Islam sebelumnya, seperti Ibnu Ishaq, Thabari, Ibn Sa’d, Bukhari dan Muslim. (Al-Makin, 2017 : 117)
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kaum orientalis menggunakan cara pandang yang berbeda-beda dalam mengkaji al-Qur’an. Sebagian dari mereka, pada awalnya mengkaji al-Qur’an secara subjektif karena terpengaruh tradisi dan latar belakang agama mereka. Namun, seiring perkembangan term orientalis, muncul beberapa sarjana barat yang dinilai mulai objektif dalam melakukan kajian terhadap al-Qur’an. Demikian, begitulah sedikit gambaran al-Qur’an dalam kacamata orientalis.
Sumber : qureta.com
Recent Comments