Ini cerita tentang sunat. Gegara putra bungsu saya, seminggu yang lalu baru saja disunat. Khitan. Soal klasik. Tapi masih penting. Menentukan masa depan. Apalagi menyangkut sunat perempuan.
Perempuan kalau tidak disunat bisa hyperseks. Bener itu? Tapi kalau disunat, melanggar HAM. Bener itu? Terus, si Anu, katanya, belum sunat. Atau malah habis disunat. Makanya, cerai. Jomblo. Bener itu? Ah, hoaks itu!
Kenapa Harus Dikhitan?
Khitan (bahasa Arab) berasal dari akar kata khatana-yakhtanu-khatnan, yang artinya memotong. Secara terminologi, pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih mazhab Syafi’i, khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Adapun khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj, yaitu kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva pada bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga i’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Namun kedua-duanya lazim disebut khitan.
Dalam Islam, khitan sudah merupakan suatu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai kelanjutan dari millah (ajaran) Nabi Ibrahim AS. Khitan dalam ajaran Nabi Ibrahim AS disebutkan dalam hadis, “Bahwa Nabi Ibrahim berkhitan setelah mencapai umur 80 tahun dan Nabi Ibrahim berkhitan dengan (di) qadum” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kamus bahasa Arab, qadum berarti alat tukang (alat untuk berkhitan). Tapi menurut Imam al-Bukhari dan Ahmad bin Hanbal, qadum artinya bukan alat tukang, melainkan nama suatu tempat.
Menurut sejarah, Nabi Muhammad SAW adalah keturunan Nabi Ibrahim AS melalui putranya Isma’il AS. Atas dasar hubungan ini kita mengenal bagaimana ajaran khitan dalam Islam merupakan kelanjutan dari ajaran Nabi Ibrahim AS. Namun demikian, bagaimana Nabi Muhammad SAW berkhitan tidak diperoleh keterangan yang jelas, selain dari kitab Barzanji dan kitab Maulid lainnya (kitab yang dibaca pada perayaan maulid Nabi SAW).
Dalam kitab-kitab tersebut dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keadaan bersih dari kotoran dan telah dikhitan serta dipotong pusarnya atas kodrat Allah SWT. Subhanallah!
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum berkhitan bagi laki-laki. Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hukum berkhitan bagi laki-laki adalah sunah. Dasarnya sabda Nabi SAW, “Khitan hukumnya sunah bagi laki-laki dan makrumah (kehormatan) bagi perempuan” (HR. al-Jama’ah [mayoritas ahli hadis]).
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, hukum berkhitan wajib bagi laki-laki. Dasarnya ayat Alquran, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus?…” (QS. 4: 125). Dan salah satu di antara ajaran Nabi Ibrahim AS itu adalah berkhitan.
Bahkan Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpenadapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah menjadi imam (salat) dan tidak diterima syahadatnya. Dalam salah satu hadis, Nabi SAW bersabda kepada orang yang masuk Islam, “Potonglah rambut jahiliah dan berkhitanlah” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud).
Dalam riwayat lain dikatakan pula: “Sesungguhnya kulup (aqlaf) dalam Islam tidak boleh ketinggalan, melainkan harus berkhitan walaupun umurnya 80 tahun” (HR. al-Baihaki). Selanjutnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak boleh dimakan sembelihannya dan tidak sah salatnya.
Ulama fikih juga berbeda pendapat mengenai khitan bagi perempuan. Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, khitan bagi perempuan merupakan suatu kehormatan dan hukumnya mubah (boleh), seperti sabda Nabi SAW, “Khitan itu sunah bagi laki-laki dan makrumah (kehormatan) bagi perempuan” (HR. al-Jama’ah). Namun menurut Mazhab Syafi’i, hukumnya wajib sebagaimana laki-laki. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW, “Potonglah rambut jahiliah dan berkhitanlah” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud).
Dalam hadis ini, perintah berkhitan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, khitan bagi laki-laki dan perempuan diwajibkan.
Menurut Yusuf al-Qardawi, ulama kontemporer dari Mesir, bahwa pendapat yang dianggap baik (paling diterima dan paling mendekati kenyataan) bagi perempuan adalah khitan ringan, sebagaimana dalam salah satu hadis, “Bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada seorang wanita juru khitan anak perempuan, ‘Sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya” (HR. Abu Dawud).
Menurut hadis ini, khitan secara sedikit saja terhadap perempuan akan menambah cantik wajahnya dan akan membuatnya terhormat dalam pandangan suaminya di kemudian hari. Lebih lanjut, Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa khitan di negeri-negeri Islam tidak sama. Ada negeri yang penduduknya mengkhitan anak perempuan, antara lain di Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam; namun ada juga yang tidak melakukannya, seperti negara-negara di Timur Tengah.
Khitan yang paling cocok adalah khitan yang sedikit, namun pada akhirnya terserah kepada orang tua anak tersebut.
“Ada yang mengatakan wajib perempuan dan laki-laki disunat/dikhitan, ada juga yang wajib bagi laki-laki dan sunah pada perempuan. Kalau Mazhab Syafi’i itu mewajibkan”, kata Prof. Dr. Huzaimah Y. Tanggo, Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta.
Ia menjelaskan manfaat dari khitan/sunat pada perempuan, yaitu akan membuat wajah perempuan cerah, bahagia dan menyenangkan suami dalam hubungan intimnya. Jika perempuan tidak dikhitan, ia beresiko mengidap hyperseks.
“Kalau perempuan tidak dikhitan, dan tidak kuat pertahanannya, nantinya hyperseks,” ia menegaskan. Apa benar seperti itu? Hal ini perlu dibuktikan oleh pakar seks.
Dalam Islam, khitan perempuan tidak memotong klitoris perempuan, melainkan hanya membersihkan bagian vagina dan membuka selaput yang ada pada klitorisnya. Sama dengan khitan laki-laki, juga khitan perempuan untuk membersihkan kotoran yang bisa menimbulkan penyakit-penyakit lain.
Menurut ahli kesehatan, khitan bagi anak laki-laki mendatangkan maslahat atau manfaat yang besar, yaitu menjaga kebersihan zakar dan mencegah timbulnya penyakit kelamin, yang bisa menyebabkan penyakit kanker rahim bagi wanita yang disetubuhi.
Oleh karena itu, kulup yang menutupi kepala zakar (hasyfah) harus dipotong atau dihilangkan untuk menghindari penyakit kelamin tersebut. Dari sudut pertimbangan ini, menurut Syaltut, Islam mewajibkan khitan bagi laki-laki. Lain halnya dengan anak perempuan, tampaknya tidak ada faktor yang mengharuskan khitan bagi mereka. Makanya, perempuan tidak diwajibkan khitan.
Efek Sunat Perempuan bagi Kesehatan, Melanggar HAM?
Perlu juga diketahui, kenapa khitan atau sunat perempuan itu kerap dinyatakan lebih banyak dampak negatifnya dan itu diklaim melanggar HAM selama ini?
Jika sunat pada laki-laki berdampak positif dan membuat kebersihan di sekitar penis jauh lebih terjaga, menurut WHO, sunat perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Dampak jangka pendek yang bisa timbul antara lain perdarahan dan sakit kepala luar biasa yang dapat mengakibatkan shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul, tetanus dan gangrene yang dapat menyebabkan kematian, serta kesulitan atau sakit saat buang air karena adanya pembengkakan dan sumbatan pada saluran urine.
Sedangkan dampak jangka panjangnya yaitu rasa sakit berkepanjangan saat berhubungan seks, penis tidak dapat masuk ke dalam vagina sehingga perlu dioperasi, kista, keloid pada bekas sunat, disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme saat berhubungan seks), disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darah haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba).
Inilah mungkin alasan khitan perempuan itu diklaim melanggar HAM. Kalau benar efeknya dilihat dari segi kesehatan seperti itu, tentu sangat merugikan dan berbahaya bagi perempuan. Mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya.
Lain halnya dengan khitan anak laki-laki. Hal itu salah satu syiar Islam. Karena begitu pentingnya, ulama fikih memfatwakan: “Jika seorang imam atau pemimpin mengetahui ada penduduk suatu daerah atau kota meninggalkan syiar tersebut, ia wajib memeranginya sampai mereka kembali kepada sunah yang menjadi ciri umat Islam itu”.
Mahmud Syaltut, ulama Mesir, berpendapat bahwa khitan termasuk masalah ijtihad. Karena tidak ada nas Alquran atau hadis sarih (jelas penunjukkannya) yang menjelaskan masalah khitan.
Oleh karena itu, Syaltut mengemukakan kaidah yang mengatakan: “Membuat sakit orang yang masih hidup tidak boleh dalam agama, kecuali kalau ada kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepadanya dan melebihi rasa sakit yang menimpanya”. Dalam hal ini, menyuntik atau membedah bagian dari tubuh pasien dibolehkan, karena manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya. Begitu juga masalah khitan.
Menurut Imam al-Nawawi, usia untuk berkhitan tidak ditentukan secara khusus dan tegas oleh syarak. Dianjurkan khitan itu sesegera mungkin, bahkan sebaiknya hari ketujuh sesudah lahir, jika dianggap bayi tidak mendapat bahaya karena itu, seperti yang dilakukan di Timur Tengah.
Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, khitan sudah membudaya, terutama bagi anak laki-laki. Keluarga muslim biasanya mengkhitan anak laki-lakinya pada usia SD, yakni sekitar usia 6 – 12 tahun. Upacara khitan itu biasanya diiringi dengan acara walimah (resepsi) atau tasyakuran disertai upacara yang bernafaskan Islam, seperti ceramah atau pengajian yang mengurai hikmah khitan.
Sebenarnya walimah khitan tidak ada perintah atau larangan dalam agama Islam, namun hal ini dapat dikembalikan kepada kaidah fikih yang mengatakan bahwa, “Pada dasarnya segala sesuatu dibolehkan, selama tidak ada dalil yang melarangnya”.
Islam mengajarkan kebersihan. Hadis Nabi SAW yang sangat populer menyatakan, ” Bahwa kebersihan merupakam sebagian dari iman” (HR. Muslim). Alquran sendiri menyatakan, “…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. 2:222).
Pada hakikatnya khitan mengandung arti kesucian serta kebersihan dari kotoran-kotoran dan penyakit yang mungkin melekat pada penis yang masih ada kulupnya. Dengan berkhitan, kulup yang menutupi jalan air kencing itu dipotong, sehingga terbuang kotoran yang ditimbulkan oleh endapan air kencing itu.
Berkhitan merupakan salah satu dari pendidikan kesehatan dalam Islam yang sangat penting artinya. Dengan berkhitan, anak dikenalkan kepada pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan badan, terutama kelaminnya.
Rujukan: Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 hal. 925 – 927
Sumber : qureta.com
Recent Comments