Membaca judul tulisan ini beberapa orang mungkin akan langsung mencibir. Atau, mereka akan memberikan tuduhan “mendewakan akal, mempertuhankan sains”. Itu hal yang biasa. Mereka adalah orang-orang yang biasa hidup dalam dua alam. Alam pikiran dan alam praktik kehidupannya sering kali tidak tersambung, terpisah satu dengan yang lain.

Mereka membaca tulisan ini melalui data dalam jaringan komputer, disiarkan melalui satelit, dan sampai kepada mereka melalui komputer atau gawai. Semua itu produk sains belaka, dibuat dengan berpedoman pada sains. Tapi orang-orang itu tetap enggan mengakui bahwa hidup mereka sebenarnya berpedoman pada sains.

Bila kita sakit, kita berobat melalui mekanisme pengobatan modern. Tentu saja mekanisme ini dikembangkan melalui sains. Kita tidak lagi berpikir bahwa penyakit yang kita derita adalah kutukan Tuhan, lalu berusaha menyembuhkannya melalui ritual-ritual tertentu.

Sebagian besar dari kita membuat pilihan seperti itu, meski tentu saja ada sejumlah orang yang masih memilih metode pengobatan abad ke-7, karena dianjurkan oleh nabi.

Ketika melihat terjadinya hujan, kita tahu proses terjadinya. Karena itu sampai ke tingkat tertentu kita bisa meramalkan kapan dan di mana hujan akan turun, berikut berapa kadar curahnya. Demikian pula, kita tahu bahwa petir itu adalah gejala kelistrikan, bukan cambuk malaikat pengatur awan. Beberapa usaha telah dilakukan untuk memanen tenaga listrik dari petir dan berhasil, meski masih memerlukan banyak perbaikan.

Singkat kata, sangat banyak perkara dalam hidup kita yang diselesaikan oleh sains. Suka atau tidak, sadar atau tidak, kita sebenarnya hidup mengikuti sains. Yang sadar menjadikannya pedoman. Yang tidak sadar dipaksa hidup mengikuti ketentuan sains, tapi enggan mengakuinya. Hanya itu saja bedanya.

Ada masih sangat banyak hal yang belum diketahui. Tapi ketimbang mengingat-ingat itu, menurut saya lebih baik mengingat sudah berapa banyak yang diketahui umat manusia, dan berapa besar manfaatnya. Tingkat harapan hidup rata-rata penduduk dunia di tahun 50-an adalah sekitar 47 tahun. Kini angkanya meningkat menjadi hampir 70 tahun.

Artinya umur rata-rata penduduk bumi meningkat 20 tahun lebih selama setengah abad ini. Hal itu terjadi karena kemajuan teknologi penunjang hidup, khususnya teknologi medis. Dari data ini bisa kita lihat bahwa sains bahkan berpengaruh pada hal yang paling fundamental, yaitu soal hidup dan mati, yang biasanya dianggap sebagai hak absolut Tuhan.

Kita yang paham sains tidak akan pernah menjadikan sains sebagai Tuhan. Kita tidak memposisikan sains sudah mengetahui segalanya. Justru sebaliknya, kita tahu di bagian mana kita tidak tahu. Kesadaran itu memberi kita 2 jenis panduan. Pertama, memandu kita untuk menuju ke arah mana penyelidikan harus kita kembangkan. Kedua, memberi kita panduan untuk bersikap terhadap hal yang belum kita kuasai.

Contohnya, soal gempa. Kita tahu bagaimana proses terjadinya gempa. Tapi kita tidak tahu bagaimana cara mencegahnya. Maka yang kita lakukan bukan berdoa agar gempa tidak terjadi, tapi mempersiapkan diri untuk menghadapi gempa. Hal menarik soal gempa, atau gejala alam lain, adalah bahwa ia pada dasarnya tidak disebut bencana hingga ia punya dampak yang merugikan manusia.

Gempa dengan skala berapa pun bukan bencana kalau tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan manusia. Maka, yang kita lakukan adalah proses pencegahan timbulnya kerugian akibat suatu gejala alam, yang kita sebut mitigasi. Mitigasi ini pun dilakukan dengan berpedoman pada sains.

Apakah sains bertentangan dengan agama? Jawabannya: ya dan tidak. Tergantung bagaimana kita mendefinisikan agama, atau cara kita memperlakukan agama. Ada orang yang mengira agama mengajari mereka segala hal. Isi kitab suci pasti benar secara mutlak.

Orang-orang ini biasanya cenderung menolak kebenaran sains. Ada orang yang masih menolak kenyataan bahwa bumi itu bulat, dan siang dan malam itu terjadi karena rotasi bumi. Mereka menolak karena kitab suci, atau tafsir mereka atas kitab suci mengatakan sebaliknya.

Dalam konteks ini kita bisa melihat agama bertentangan dengan sains. Tapi seperti saya tulis di atas, orang-orang ini kalau bepergian tetap menggunakan pesawat, memakai alat komunikasi, yang semuanya dikembangkan berbasis pada pengetahuan bahwa bumi itu bulat dan berotasi.

Di sisi lain kita bisa berpandangan bahwa agama atau kitab suci memang tidak memberikan panduan teknis soal alam. Pengetahuan itu tidak diberikan Tuhan dalam bentuk kitab suci, tapi harus kita pelajari sendiri dari alam. Kalau ada satu dua cerita tentang alam di kitab suci, itu hanya panduan awal saja, dan boleh jadi hanya cocok untuk manusia yang hidup belasan abad yang lalu.

Kalau tidak lagi cocok dengan sains modern, kita tidak perlu berakrobat untuk mencari pembenarannya. Kalau yang tertulis di kitab suci sudah tidak lagi cocok, maka kita bisa meninggalkannya. Karena tujuan kitab suci memang bukan untuk mengajarkan sains

Saya berada di kelompok kedua. Saya menjadikan sains sebagai salah satu pedoman hidup, menjadikannya dasar untuk bersikap. Kita tidak perlu takut untuk menegaskan bahwa sains adalah pemandu hidup kita. Kita juga tidak perlu mendua, menolak sains sebagai pedoman, tapi tubuh kita sebenarnya hidup dikendalikan oleh alat-alat berbasis sains.

Sumber : qureta.com

Translate »