“Kenapa laki-laki berjenggot?” tanya seorang wanita sebelum perkuliahan dimulai pagi itu. Bukannya menjawab, saya malah menyunggingkan bibir sembari mencari refleksi senyum di bola matanya. Tapi saya tidak menemukan apa yang dicari. Jarak hati terlampau jauh.

Entah mengapa ia bertanya perihal jenggot. Padahal saat itu kita akan mengulas salah satu sub bahasan dalam matakuliah Interaksi Sosial dalam Perspektif Keruangan.

Saya menghibur dari prolog percakapan dan mulai bertanya-tanya adakah hubungan antara jenggot dan fenomena sosial?

Jadi begini Dinda. Jenggot adalah kebanggaan. Entitas pembeda secara fisik antara Pria dan Wanita. Ia tumbuh berkat adanya hormon testoren. Pria dan wanita sama-sama memiliki hormon ini namun kadar testoren pada pria lebih tinggi ketimbang yang dimiliki oleh wanita.

Memanjangkan jenggot adalah pilihan. Seorang lelaki berhak menumpasnya pun berhak melestarikannya. Dalam Islam, memanjangkan dan merapikan jenggot adalah sunnah.

Perpektif mengenai jenggot banyak ragamnya. Termasuk menghubungkannya dengan kecerdasan. Lebih nyeleneh lagi ada yang menautkan jenggot dan terorisme.

Beberapa waktu lalu sempat viral di YouTube pernyataan seorang tokoh nasional. Menurutnya, panjang jenggot berbanding lurus dengan kebodohan. Karena itu beliau rajin membersihkan dagunya. Ia tak ingin kecerdasan otaknya mengalir ke jenggot.

Haji Agus Salim dalam suatu forum pernah diejek sebagai kucing dan kambing gegara kumis dan jenggot yang bersarang di wajahnya. Tatkala tiba giliran berpidato, ia menampakkan kecerdikannya. Di hadapan hadirin, pahlawan nasional ini bertanya “saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Hadirin kompak menjawab, “Anjing!”

Haji Agus Salim bukan bermaksud memojokkan orang-orang yang tidak berjenggot. Ia hanya ingin memberikan ganjaran istimewa kepada para pencela bahwa jenggot manusia bukan ukuran kecerdasan terlebih bila mengonotasikan jenggot yang dimiliki hewan.

Jadi keliru kalau ada yang mengatakan jenggot menyebabkan kecerdasan berkurang. Agus Salim sendiri adalah pejuang kemerdekaan dan dikenal sebagai tokoh yang menguasai beberapa bahasa asing.

Demikian halnya yang sering mengaitan jenggot dan teroris. Tuduhan ini berdiri di atas tanah berlumpur. Ulah propagandis membuat saya bergidik.

Kalau kita melihat gambar-gambar para filsuf Yunani di internet, mulai dari Thales hingga Aristoteles, rata-rata mereka berjenggot. Mungkin saja salah satu pemikirannya terbit ketika tengah mengelus jenggotnya.

Dalam film-film Mandarin juga sama. Para pendekar kungfu yang tersohor memiliki jenggot yang panjang-panjang. Mereka tinggal di Shaolin sebagai orang yang bijak. Murid-murid sangat menghormatinya. Pun lawannya sangat kagum dengan kelihaian bela diri para penjenggot ini.

Di Jerman utara pernah ada komunitas pria berkumis. Pemrakarsanya adalah Friedrich Engels, sahabat Karl Marx. Engels berhasil menghimpun pemuda berkumis dalam suatu kesepakatan: meneror kaum Filistin, golongan borjuis yang tidak peduli terhadap intelektualitas dan menganggap para filsuf sebagai kafir intelektual.

Saya menduga Engels muda tidak hanya berkumis, tetapi juga jenggotan. Kebrewokannya tetap ia pertahankan meski kulitnya kian keriput.

Sama halnya dengan Marx. Kalau melihat beberapa potretnya, kita akan terperangah akan jenggot yang ia miliki. Kelebatannya menyamai gagasan-gagasan revolusionernya. Ia adalah orang cerdas. Pemikirannya mengenai kesadaran kelas memicu proletar melawan hegemoni kaum borjuis. Pemikirannya adalah ancaman untuk para kapitalis.

Berganti zaman, beralih pula kekhasannya. Jenggot telah bertransformasi menjadi sebuah trend, gaya kekinian. Saking populernya, sejak tahun 1995 sudah dilaksanakan festival kumis dan jenggot di Eropa. Saat ini, kompetisi tersebut naik tahta menjadi ajang Internasional.

Beda lagi di Indonesia. Di negeri ini ada sekelompok golongan yang kerap menonjolkan jenggot sebagai ciri seorang teroris. Mereka hendak menciptakan stereotip kepada masyarakat bahwa jenggot adalah simbol radikalisme. Jenggot mereka posisikan sebagai objek negatif yang mampu merongrong kenyamanan dan keamanan.

Juni 2017, misalnya, detik.com menulis berita berjudul: Kurang Bermasyarakat, Terduga Teroris Pak Gun Dijuluki Pak Jenggot. Senada dengan itu, kompas.com juga mempublikasikan berita berjudul: Terduga Teroris di Surabaya Biasa Dipanggil “Pak Jenggot”.

Kata “jenggot” sengaja mereka pilih sebagai sudut pandang pemberitaan. Keduanya bersepaham untuk mengukuhkan objek yang sama. Secara lembut, mereka memproyeksikan jenggot sebagai simbol negatif yang patut diwaspadai.

Hal tersebut bukan sekadar teknik jurnalistik semata, tetapi bentuk sugesti makna menuju nilai tertentu, sesuai ideologi yang dianut pemilik media.

Kalau selalu menempatkan kata jenggot dan teroris dalam rumah kriminal yang sama, bisa gawat! Teman sekelas yang kami daulat secara nonformal sebagai ketua Komunitas Pria Berjenggot harus segera menggelar jumpa pers. Memberitahukan kepada korban-korban propaganda bahwa jenggot adalah aksesoris netral, bukan bagian dari terorisme.

Saya memiliki kawan yang berjenggot. Agamanya berbeda dengan agama saya. Kami berdua termasuk anggota komunitas pria berjenggot. Namun, saya bukan ancaman baginya. Sebaliknya, ia pun bukan ancaman bagi saya.

Terlepas dari kecerdasan dan terorisme. Saya juga sadar. Di antara kaum wanita ada yang suka jenggot dan ada yang anti jenggot. Tapi saya tidak tahu dinda berada pada kubu yang mana. Sekiranya dinda pro jenggot, betapa indahnya dunia ini. Kita bisa bersanding dalam rasa yang sama.

Bila dinda ternyata berada di pihak oposisi, saya tetap mempertahankan jenggot ini. Saya tidak akan mengorbankannya walau sehelai. Cinta hadir bukan sekadar karena aksesoris tubuhnya yang menawan, tetapi juga karena prinsipnya, komitmennya, dan kesetiannya.

Jenggot saja ia rawat, apa lagi perasaannya padamu. Camkan itu!

Sumber : qureta.com

Translate »