Pada pertengahan 1990an, saya pernah bertanya kepada seorang teman, mahasiswa PhD Astrofisika yang menamatkan masternya di sebuah universitas ternama di Inggris, “Apakah Stephen Hawking akan mendapatkan Nobel?”

Dengan mantap dia menjawab: “Tidak dan tidak akan pernah.” Saya kecewa dengan jawabannya. Bagaimana mungkin salah seorang ilmuwan terbesar –jika bukan yang terbesar—setelah Albert Einstein, akan meninggal tanpa Nobel di tangannya?

Setengah tak percaya dengan jawaban teman itu, saya selalu berharap bahwa suatu saat panitia Nobel akan membuat kejutan memberikan hadiah paling prestisius itu kepada Hawking.

Teman saya benar. Hawking meninggal tanpa Nobel di tangannya. Dari tahun ke tahun, setiap ada pengumuman pemenang Nobel, nama Hawking tak pernah disebut.

Ketika mendengar berita kematiannya pada Rabu 14 Maret lalu, saya teringat percakapan dengan teman saya lebih dari 20 tahun silam itu. “Hawking tak mungkin mendapatkan Nobel,” jelas teman saya itu, “karena dia seorang Fisikawan teoritis.” Panitia Nobel lebih mementingkan temuan yang berdampak langsung bagi kemanusiaan ketimbang teori-teori yang jauh dari bukti empiris.

Hawking bukan satu-satunya Fisikawan besar yang tak mendapatkan Nobel. Ada beberapa ilmuwan ternama yang juga bernasib serupa. Misalnya, Edward Witten, ahli String Theory, Rolf Landauer, ilmuwan NASA, dan Charless Bennett, penemu kriptografi quantum.

Kata teman saya itu, panitia Nobel biasanya memprioritaskan Fisikawan eksperimentalis ketimbang yang teoris. Hawking yang sejak awal bergelut di dunia teori, karenanya, agak jauh dari pantauan panitia Nobel.

Area penelitian Hawking memang di luar jangkauan teknologi manusia, setidaknya sampai saat ini. Temuannya tentang radiasi di seputar lubang hitam (yang kemudian dikenal dengan “Hawking radiation”) tak bisa dibuktikan secara empiris.

Meski keberadaan lubang hitam kini menjadi perbincangan umum di kalangan ilmuwan, bukti-bukti keberadaannya merupakan syarat mutlak yang ditentukan panitia Nobel. Mungkin perlu beberapa tahun (atau dekade) lagi untuk membuktikan temuan Hawking.

Beyond Nobel

Meski sampai akhir hayatnya tak mendapatkan Nobel, Stephen Hawking tetaplah ilmuwan besar yang namanya bisa disejajarkan dengan Isaac Newton, Galileo Galilei, dan Albert Einstein. Nama Hawking tak bisa dipisahkan dari Galileo dan Einstein, setidaknya jika kita melihat hari kelahiran dan kematiannya.
Hawking lahir pada hari yang sama dengan kematian Galileo dan meninggal pada tanggal yang sama dengan kelahiran Einstein. Dalam otobiografinya, My Brief History, Hawking membanggakan hari kelahirannya yang sama dengan hari wafatnya Galileo. Andai dia tahu bahwa kematiannya juga punya hubungan erat dengan ilmuwan besar lain yang menjadi idolanya.

Tapi, tentu saja, hubungan erat Hawking dengan Galileo dan Einstein adalah kesamaan pikirannya dalam memandang alam raya dan peran penting Sains di dalamnya. Hawking meneruskan apa yang sudah dimulai oleh Galileo dan Einstein. Dia menekuni bidang yang menjadi perhatian Galileo, tentang kosmologi, gravitasi, dan pergerakan benda-benda langit. Hawking juga meneruskan upaya yang sudah dimulai Einstein, seputar relativitas umum dan mekanika kuantum.

Bersama sejawatnya, Roger Penrose, Fisikawan besar yang juga tak (atau belum) mendapatkan Nobel, Hawking mengembangkan teori singularitas dan radiasi lubang hitam. Hawking mungkin orang yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan konsep “lubang hitam” di dunia modern.

Sebagai ilmuwan, Hawking mendapatkan banyak penghargaan bergengsi, khususnya dalam bidang ilmu yang digelutinya. Pada 1966, ia memperoleh Adams Prize, pada 1975, mendapat Eddington Medal, pada 1976 merain Maxwell Medal and Prize, Heineman Prize, dan Hughes Medal.

Pada 1978, dia memperoleh Albert Einstein Award dan selama rentang 1980 hingga 2015, dia menerima tak kurang dari 12 penghargaan dari 12 lembaga berbeda. Sebagian besar penghargaan yang diterima Hawking terkait dengan dedikasinya yang tinggi terhadap Sains, khususnya bidang Fisika yang digelutinya.

Bagi saya, kontribusi terbesar Hawking dan perannya yang tak terperikan bukanlah temuannya seputar lubang hitam. Tapi, kemampuannya mempopulerkan Sains ke dalam bahasa yang bisa dipahami kalangan awam.

Pada 1980an, ada beberapa ilmuwan yang menulis dan menerbitkan buku sains populer. Sebut saja, Paul Davis, Carl Sagan, John Gribbin, dan Fritjof Capra. Namun, tidak ada yang mampu mengalahkan Hawking dalam hal keberhasilan menjadikan bukunya best-seller selama berbulan-bulan dan berhasil memengaruhi begitu banyak orang.

A Brief History of Time adalah satu-satunya karya ilmiah-populer yang mampu bertenggar dalam daftar buku terlaris Sunday Times, London, selama 237 minggu. Bahkan, itu adalah satu-satunya buku terlama yang masuk daftar best-seller berbagai toko buku di Inggris. Tentu, sebelum demam Harry Potter melanda Inggris dan kemudian menerpa dunia. Edisi Inggris A Brief History of Time telah terjual lebih dari 10 juta copy dan sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.

Saya membaca buku itu lima tahun setelah terbitan pertamanya tahun 1988. Akhir 80an tidak mudah mendapatkan buku, apalagi dalam bahasa Inggris. Kita harus menunggu keberuntungan untuk mendapatkan buku bagus. Selain toko buku, satu-satunya akses kepada buku pada masa itu hanyalah perpustakaan di kampus atau jika beruntung, punya dosen yang berbaik hati mau meminjamkannya (yang umumnya jarang terjadi).

Saya membeli buku itu dengan penuh heroik dan keinginan yang sangat kuat untuk segera menamatkannya. Belakangan saya sadari, A Brief History of Time adalah salah satu buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya, jika bukan yang paling berpengaruh.

Saya akan menceritakan mengapa buku itu berpengaruh dan ini alasan mengapa saya menganggap peran penting Hawking adalah kemampuannya dalam menyuguhkan temuan-temuan Sains kepada orang awam, bukan yang lainnya.

Sejak Einstein, ada begitu banyak ilmuwan besar yang memberikan sumbangan bagi perkembangan Sains. Lihatlah daftar penerima nobel dalam bidang Fisika, Kimia, dan Kedokteran. Niels Bohr, Heisenberg, Eijkman, Schrodinger, Dirac, Fermi, Curie, Fleming, Pauli, Feynman, Weinberg, Salam, hingga Higgs; tanpa Hawking, dunia Sains tetap menjulang dengan senarai panjang ilmuwannya yang cemerlang.

Yang membuat Hawking istimewa adalah dia memberikan pengaruh kepada publik lebih dari yang pernah dilakukan ilmuwan mana pun. Tak pernah ada masa di mana mahasiswa merasa bangga ke mana-mana menenteng buku sains populer, dalam jumlah yang masif, seperti terjadi pada buku A Brief History of Time. Setidaknya itu yang saya dengar dari cerita-cerita di India, Pakistan, dan beberapa negara lain yang terkena demam Hawking pada awal 1990an.

Dengan segala keunikannya, Hawking (bukan Schrodinger atau Dirac) telah menjadi “ikon” pengetahuan yang menghiasi layar kaca, panggung seni, dan budaya pop modern. Tak kurang dari The Simpson dan The Big Bang Theory, serial kartun dan sitcom ternama, menghadirkan Hawking dalam beberapa cameo. Nama Hawking tak lagi menjadi milik komunitas Sains, tapi telah menjadi bagian dari budaya pop modern.

A Brief History of Time seperti sebuah jendela, atau pintu, yang menuntun orang-orang awam ke dunia Sains. Pertanyaan-pertanyaan dasar yang diajukan anak kecil hingga filsuf, seperti dari mana kita berasal, bagaimana alam raya tercipta, kapan dunia bermula dan kapan berakhir, dijelaskan dengan gamblang dan tak memerlukan satu persamaan Sains-pun untuk memahaminya.
Hawking memberikan jawaban alternatif yang tak pernah diterima mahasiswa Filsafat atau peserta pengajian di musala atau madrasah. Jika ada pengaruh yang mengubah cara pandang orang dan cara orang memahami dunia, di sinilah pengaruh itu terjadi. A Brief History of Time memberikan semacam suntikan antidote terhadap pemahaman-pemahaman khayali yang selama ini diterima pembacanya.

Setidaknya itu yang saya alami. Sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan agama yang keras, apa yang dijelaskan Hawking adalah sebuah “tamparan” untuk menyadarkan orang yang tertidur.

Pertanyaan yang diajukan Hawking adalah sesuatu yang biasa. “Dari mana alam raya berasal” adalah pertanyaan berulang-ulang yang sudah ada jawabannya. “Bagaimana alam terbentuk” juga merupakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Mencari jawaban lain adalah sebuah tindakan subversif yang ditabukan dan dihalang-halangi sekuat tenaga.

Membuang Tuhan

Peran penting A Brief History of Time adalah kemampuannya mengubah cara pandang orang dengan memberikan jawaban tidak biasa atas pertanyaan biasa. Siapa yang menciptakan alam raya? Jawaban yang biasa adalah “Allah” atau “Tuhan” atau apa pun namanya yang selama ini dianggap pencipta.

Tuhan adalah penyetop diskusi paling ampuh. Siapa yang menciptakan malam dan siang? Tuhan. Siapa yang memberi kesehatan dan penyakit? Tuhan. Siapa yang mendatangkan bencana alam? Tuhan. Siapa yang mengakhiri dunia? Tuhan. Siapakah Tuhan? Pencipta. Siapa pencipta? Tuhan. Begitu seterusnya, ad infinitum.

Tuhan adalah konsep yang absurd, ganjil, dan kontradiktif. Bagi kaum beragama, sifat-sifat ini bukan dianggap sebagai kekurangan, tapi justru kelebihan. Makin misterius dan ganjil tuhan, makin besar peluangnya untuk dikeramatkan, diagungkan, dan disembah. Tuhan adalah pusat alam semesta, pusat segala dunia, pusat segala akhirat.

Sains modern tidak mengurusi Tuhan, tapi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diklaim oleh kaum ignorant sebagai karya Tuhan. Siang dan malam adalah fenomena alam akibat pergeseran posisi Bumi terhadap Matahari. Siang dan malam tak hanya ada di Bumi, tapi ada di planet-planet lain, di Mars, Venus, Uranus, dan lainnya.

Jika cahaya Matahari ke Bumi terhalangi oleh Bulan, kita mengalami malam pada siang hari. Inilah yang disebut gerhana. Gerhana juga bukan ciptaan siapa-siapa. Ia adalah fenomena alam biasa.

Sehat dan sakit juga fenomena alam. Ia terkait dengan bakteri, virus, atau sebab-sebab lain yang terkait dengan keturunan atau perilaku hidup. Penyakit bisa diatasi dan disembuhkan, lewat diagnosa dan pemeriksaan terhadap si sakit. Tak ada campur-tangan apa pun selain hal-hal yang bisa dijelaskan dunia kedokteran.

Begitu juga dengan bencana alam, seperti tsunami dan gunung meletus. Tsunami adalah fenomena alamiah akibat gempa. Gunung meletus adalah gejala normal yang terjadi secara berkala. Tidak ada campur-tangan apa pun atau siapa pun di dalamnya.

Sains modern menjawab hampir semua pertanyaan yang sejak Abad Pertengahan diklaim kaum ignorant sebagai ulah Tuhan. Tak ada ruang yang tak bisa dijelaskan oleh Sains. Hampir semua tempat yang dulu didiami Tuhan kini sudah terisi oleh penjelasan Sains.

Hanya kaum ignorant yang masih terus berusaha mengisinya dengan khayalan warisan Abad Pertengahan itu. Para filsuf menyebutnya god of the gaps atau “tuhan-ruang-kosong.” Kaum beragama terus mencari ruang-ruang kosong untuk diisi dengan Tuhan. Tapi begitu Sains datang dan menjelaskannya, Tuhan lenyap dari ruang itu.

Hawking tentu tidak secara eksplisit meminta kita membuang ide tentang Tuhan. Tapi, jika Anda membaca secara tuntas dan memahami seluruh uraian A Brief History of Time, Anda akan mendapatkan perspektif baru tentang dunia, tentang kehidupan, tentang agama.
Tuhan adalah ide yang tidak relevan bagi Sains modern. Satu-satunya alasan manusia menggunakan “tuhan” adalah kebutuhan praktis, karena ia telah menjadi bagian dari bahasa mereka sehari-hari. Ini seperti seorang agnostik atau seorang ateis yang mengucapkan “My god!” atau “Oh Lord!” atau “Subhanallah!” Tidak ada tuhan di luar bahasa.

Sebagaimana para saintis pada umumnya, Hawking adalah seorang ateis. Lebih tepatnya, orang yang tak percaya pada Tuhan personal yang digambarkan oleh kebanyakan agama. Ateisme adalah posisi default Sains modern.

Kalaupun para saintis berbicara tentang Tuhan atau agama, itu adalah kebutuhan teknis berbahasa dan berinteraksi sebagai makhluk sosial. Itu yang terjadi pada Einstein, yang oleh para pengagumnya kemudian, khususnya mereka yang berlatar agama, dianggap sebagai seorang yang religius.

Ini juga terjadi pada Hawking, semata-mata karena pada bagian akhir A Brief History of Time,dia berbicara tentang “nalar Tuhan” (the mind of God): “It would be the ultimate triumph of human reason – for then we should know the mind of God.”

Dalam bukunya yang lain yang terbit pada 2010, The Grand Design, Hawking mengakui bahwa kalimat “the mind of God” itu hanyalah metafor untuk merujuk pengetahuan manusia. Kata Hawking, jika suatu saat manusia memiliki pengetahuan seperti Tuhan, jika Tuhan benar ada (yang dia yakin sebenarnya tidak ada), kita akan tahu segala hal.

Penggunaan “tuhan” sebagai metafor juga dilakukan oleh banyak ilmuwan ateis lainnya. Seperti saya sebut di atas, tuhan digunakan karena kebutuhan teknis berbahasa saja.

Yuval Noah Harari adalah sarjana mutakhir yang menggunakan tuhan di banyak tulisannya. Bahkan, dia menggunakan kata “tuhan” sebagai judul buku terbarunya: Homo Deus (manusia Tuhan).

Persis seperti Hawking, Harari menggunakan kata “deus” atau “tuhan” sebagai metafor. Tuhan sebenarnya, menurut Harari, adalah manusia. Manusia super-modern-lah yang suatu saat nanti akan menjadi tuhan (homo deus).

Tren Sains modern adalah ateisme, karena posisi default Sains adalah ateis. Tugas Sains modern sejak awal mula kiprahnya adalah mengusir Tuhan dan takhayul-takhayul lain dari ruang-ruang yang sebelumnya tak terjelaskan.

Malam dan siang semula milik Tuhan, lalu Sains datang mengusirnya. Lepra, cacar, dan kolera sebelumnya juga dianggap sebagai penyakit buatan Tuhan. Ilmu Kedokteran datang menumpasnya, dan sekaligus mengusir Tuhan dari ruang-ruang di sekelilingnya.

Peran terbesar Hawking adalah membebaskan manusia dari belenggu takhayul warisan Zaman Kegelapan. Dia memulainya dengan memberikan alternatif jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar yang kita sering dengar. Jika kita bisa mengubah pandangan seseorang tentang penciptaan, alam semesta, dan akhir kehidupan, maka kita bisa mengubah cara pandangnya tentang hal-hal lain yang lebih remeh.

Di tengah kegilaan terhadap warisan takhayul Abad Pertengahan yang melanda negeri kita, mungkin ini saat yang tepat untuk menerbitkan kembali A Brief History of Time, menerjemahkannya, dan menyebarluaskannya ke segenap penjuru Indonesia.

Sumber : qureta.com

Translate »