Ulasan Buku “The Grand Design”

Buku the Grand Design muncul di tengah meruyaknya buku-buku tentang ateisme yang ditulis oleh para ilmuwan seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennet, dan Christopher Hitchens. Tak heran kalau sebagian orang kemudian mengait-ngaitkan terbitnya buku Hawking ini dengan kemunculan Ateisme-Baru.

Sebagai buku sains populer, pesan utama yang ingin disampaikan buku ini adalah perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, khususnya astrofisika, bidang yang digeluti Hawking, dalam menjelaskan misteri alam raya.

Begitu komprehensif dan terangnya penjelasan-penjelasan sains terhadap misteri itu, Hawking meyakini bahwa kita tidak lagi memerlukan filsafat. “Filsafat telah mati,” kata Hawking dalam bagian awal bukunya.

Sains bisa menjelaskan misteri alam raya yang selama berabad-abad dicoba jawab oleh para filsuf. Dengan makin majunya sains, kita tak perlu lagi spekulasi-spekulasi filsafat. Yang diperlukan hanyalah persamaan matematika dan pembuktian-pembuktian modelnya di laboratorium.

Dengan keyakinan itu, Hawking menyimpulkan bahwa alam raya bisa dijelaskan sepenuhnya lewat sains. Mekanisme kerja alam bisa dipahami lewat hukum-hukum alam yang pasti. Dan jika kita bisa secara pasti memahami jalannya alam raya, kita juga bisa memahami asal-usul dan perkembangannya.

Dari sinilah Hawking menjelaskan teorinya tentang penciptaan alam raya. Kata Hawking, proses penciptaan alam raya dari sebuah singularitas menjadi ruang-waktu yang memuai tidak memerlukan “sebab utama” (prima causa). Kita cukup menemukan sebuah formula matematika atau teori yang bisa menjelaskan secara komprehensif mengapa alam raya ini ada, mengapa ia terus memuai, dan ke mana arah dan tujuannya?

Para saintis menyebut formula penjelas itu sebagai theory of everything (TOE). Tapi mereka berbeda pendapat apa TOE itu? Dalam the Grand Design, Hawking memperkenalkan “M-Theory” sebagai kandidat terkuat untuk TOE.

Teori yang pertama kali dipopulerkan oleh Edward Witten ini dianggap sebagai holy grail yang dapat menuntaskan pertanyaan-pertanyaan para saintis selama ini. Jika teori ini bisa dibuktikan, kita bisa menjelaskan misteri penciptaan alam, dan kita bisa mengetahui desain alam raya tanpa harus ribut-ribut memperdebatkan siapa desainernya.

Bagi orang-orang yang percaya pada Desain Intelijen (Tuhan), the Grand Design bisa dianggap sebagai penolakan terhadap keberadaan Tuhan. Penegasan Hawking bahwa alam raya bisa dijelaskan sepenuhnya dengan hukum-hukum alam mengindikasikan tidak diperlukannya campur tangan Tuhan.

Namun sebenarnya Hawking bukan sedang menegaskan keberadaan atau ketidakberadaan Tuhan, tapi ia hanya menyatakan bahwa tanpa Tuhan, penciptaan alam raya bisa dijelaskan secara meyakinkan.

Hawking tidak berbicara tentang agama. Dia juga tidak berbicara tentang argumen-argumen tentang keberadaan atau ketidakberadaan Tuhan. Berbeda dengan Richard Dawkins yang secara tegas menyatakan ketidakberadaan Tuhan, Hawking menegaskan independensi sains dari agama dan tidak ada gunanya mencampuradukkan dua domain yang memiliki logika dan bahasa yang berbeda itu.

Hawking adalah seorang ilmuan agnostik yang lebih percaya pada kerja sains ketimbang penjelasan agama. Dia tak peduli apa kata agama tentang Tuhan dan penciptaan alam. Yang menjadi kepeduliannya adalah bagaimana sains bisa mengungkap misteri alam raya.

Dalam delapan bab bukunya, Hawking menguraikan bagaimana sains menjelaskan alam raya, asal-usul dan perkembangannya. Dia memulai dengan sebuah pendekatan yang dia sebut “realisme yang bergantung pada model” (model dependent realism). Pendekatan ini menyatakan bahwa pemahaman kita terhadap realitas di luar sana bergantung kepada model yang kita buat.

Otak kita menginterpretasikan input-input dari organ indra kita dengan cara membuat suatu model tentang dunia. Tak ada gunanya menanyakan apakah sebuah model itu nyata. Yang bisa kita katakan adalah sebuah model berguna jika ia sejalan dengan observasi yang kita lakukan.

Dengan demikian, “jika ada dua model yang sejalan dengan observasi, kita tak bisa mengatakan bahwa model yang satu lebih nyata dari yang lain. Tapi kita bisa menggunakan model mana saja yang kita anggap lebih cocok.”

Di antara model-model yang ada, Hawking menganggap bahwa “Teori M” sebagai model yang paling baik untuk menjelaskan seluruh jagat raya. Menurut Hawking, inilah teori segala hal yang selama ini dibicarakan para ilmuwan.

Teori M dapat menjelaskan apa saja yang terkait dengan fenomena fisik alam raya, termasuk menjelaskan asal-usul dan proses penciptaannya. Yang menarik dari penjelasan Hawking tentang asal-usul alam raya adalah penegasannya bahwa proses-proses penciptaan jagat raya bisa sepenuhnya dijelaskan lewat Teori M. Tuhan tidak diperlukan kehadirannya untuk menjelaskan proses penciptaan ini.

Untuk memudahkan kita menerima dan memahami Teori M, Hawking menjelaskan pentingnya aturan main (rule of law) dalam Fisika. Peristiwa-peristiwa alam berjalan berdasarkan aturan atau hukum yang disebut sebagai ”hukum alam” (natural law). Hukum alam bersifat pasti, deterministik, dan berlaku pada semua keadaan.

Para ilmuwan awal seperti Galileo Galilee (w. 1642), Johannes Kepler (w. 1630), dan Isaac Newton (w. 1727) berbeda pendapat tentang keajekan hukum alam itu. Mereka bertanya apakah hukum alam itu benar-benar bersifat deterministik dan berjalan sepenuhnya sendirian? Apakah tidak ada campur tangan elemen lain (Tuhan) di dalamnya? Bagaimana menjelaskan peristiwa-peristiwa yang tampak menyimpang dan tak sesuai dengan hukum alam?

Newton percaya bahwa hukum alam tidak sepenuhnya ajek. Ketika ia mengamati tata-surya dan mendapatkan ada sejumlah planet yang berotasi secara ”menyimpang”, Newton mengatakan bahwa ada campur tangan Tuhan di sana untuk menjaga agar planet-planet itu tidak saling bertabrakan.

Newton dan para ilmuwan sebelum dia percaya bahwa hukum alam dibuat oleh Allah dan Allah sepenuhnya berkuasa atas hukum alam yang diciptakannya itu.

Hawking menganggap jawaban bahwa Allah berada di balik penciptaan hukum alam tidak menyelesaikan masalah klasik, yakni dari mana Allah berasal? Siapa yang menciptakan Allah? Ini adalah persoalan filsafat yang tak pernah selesai diperdebatkan.

Tapi Hawking berusaha menjelaskan dengan kembali kepada aturan main bahwa hukum alam bersifat ajek dan deterministik, tidak ada elemen lain di luar hukum alam. Meminjam ”pisau cukur Occam”, Hawking menegaskan apa yang bisa dijelaskan dengan suatu yang sederhana tidak perlu menambahkannya dengan hal-hal lain yang hanya membuatnya rumit.

Orang yang mengharapkan Hawking berbicara banyak tentang agama atau tentang Tuhan pasti akan kecewa, karena Hawking tidak berbicara tentang itu. The Grand Design tidaklah seperti God Delusion, dan Hawking bukanlah Richard Dawkins. The Grand Design adalah buku tentang sains populer yang lebih banyak menguraikan fenomena alam secara ilmiah. Ia bukan buku tentang Tuhan ataupun tentang ketiadaan Tuhan.

Sumber : qureta.com

Translate »