Dalam keyakinan umat beragama, iblis dikenal sebagai makhluk terkutuk paling durjana yang kelak akan disiksa dan diabadikan di dalam neraka.
Karena tahu hidupnya akan berakhir dengan kesengsaraan, dikisahkan bahwa iblis sempat mengajukan satu permintaan kepada Tuhan. Permintaan iblis itu direkam dalam salah satu ayat Alquran.
Apa bunyi permintaan itu? Al-Quran menjawab:
“Iblis berkata: Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka berilah penangguhan kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (QS 15: 36). Lalu, Tuhan pun berkata kepada iblis: “Baiklah. Maka sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan.” (QS 15: 37).
Dari cuplikan dialog singkat di atas, kita sudah bisa mendapatkan satu pelajaran penting. Ayat tersebut mengisahkan bahwa iblis berdoa kepada Tuhan agar ditangguhkan sampai hari kiamat.
Lalu apa jawaban Tuhan? Tuhan mengabulkan permintaan iblis itu, persis seperti apa yang dia minta. Tapi, pengabulan doa tersebut berakhir dengan kesengsaraan iblis itu sendiri.
Apa pelajaran yang bisa kita petik? Pelajaran pertama yang bisa kita petik ialah: hendaknya kita sadar bahwa pada dasarnya Tuhan itu mengabulkan sebagian besar dari doa hamba-hamba-Nya. Iblis itu hamba Tuhan. Di samping hamba Tuhan, dia juga termasuk sosok yang berilmu (‘âlim).
Bayangkan saja, dialognya dengan Tuhan diabadikan dalam Alquran. Sayangnya, kehambaan dan pengetahuan iblis diliputi oleh kedurhakaan dan keangkuhan. Karena itulah dia dikutuk.
Namun, meski begitu, Tuhan tetap mengabulkan doa iblis, persis seperti yang dia minta. Lucunya, sebagai orang beriman, kadang kala kita merasa bahwa Tuhan tidak mengabulkan doa kita.
Padahal, kalau doa iblis saja terkabul, mungkinkah kita yang tidak sehina iblis itu doanya tertolak? Karena itu, mengutip perkataan Syekh Yusri, ayat di atas merupakan arja âyat filquran, ayat yang paling optimistis di dalam Alquran.
Mengapa? Karena seburuk-buruknya manusia tidak mungkin menyetarai keburukan iblis. Kalau doa iblis saja Tuhan kabulkan, lalu mengapa kita suka merasa ragu kalau Tuhan tidak akan mengabulkan apa yang kita inginkan?
Yang kadang jadi persoalan, manusia kerap kali mengira bahwa pengabulan doa itu harus persis seperti apa yang dia minta. Padahal kita tahu bahwa kekasih yang baik bukan sosok yang selalu memenuhi keinginan orang yang dikasihinya. Tetapi kekasih yang baik itu ialah sosok yang selalu memberikan yang terbaik untuk orang yang dikasihinya sekalipun dia tidak suka.
Lihat anak kecil yang merengek minta smartphone mahal kepada ayahnya. Ayahnya tahu kalau smartphone itu hanya akan dijadikan mainan yang pada akhirnya akan membuat dia lalai. Karena kasih sayangnya yang mendalam, sang ayah pun enggan memberikan sesuatu yang dapat berakibat buruk pada masa depan anaknya.
Padahal, bagi sang anak, smartphone itu adalah sesuatu yang baik. Karena dia bisa memberikan hiburan di saat sang anak merasa suntuk dalam belajar. Tapi sang ayah punya pandangan yang jauh ke depan, sementara sang anak tidak. Karena itu ia mengira bahwa ayahnya tidak sayang ketika dia tidak mengabulkan apa yang dia inginkan.
Suatu saat nanti, kalau anak itu sudah dewasa, dia akan sadar bahwa apa yang dilakukan ayahnya itu merupakan putusan yang terbaik bagi dirinya, yang kalau saja dia tahu sejak awal, niscaya dia akan menerima keputusan ayahnya itu dengan perasaan riang dan lapang.
Sekiranya saja sang ayah mengabulkan semua permintaan anak sesuai dengan apa yang dia minta, itu cukup menjadi pertanda bahwa ayah yang seperti itu bukanlah ayah yang baik. Ayah yang baik bukan sosok yang senantiasa menuruti keinginan anaknya. Tapi ayah yang baik adalah sosok yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk anaknya sekalipun pilihan itu bertentangan dengan keinginannya.
Kalau dalam kehidupan berkeluarga saja kita bisa memaklumi hal itu, lantas mengapa kita selalu merenghek kepada Tuhan agar Dia mengabulkan semua yang kita inginkan? Kalau Tuhan tidak memenuhi keinginan kita, kita marah, jengkel, kesal, bahkan berprasangka buruk. Persis seperti anak yang belum dewasa.
Keberagamaan kita pada akhirnya tidak mencerminkan kedewasaan. Tanpa kita sadari, kita tidak sedang menyembah Tuhan. Tapi kita sedang menyembah nafsu kita sendiri yang memiliki setumpuk harapan dan keinginan. Apakah kita ingin seperti iblis, yang doanya terkabul sesuai permintaan, tapi pengabulan doa tersebut berakhir dengan kesengsaraan sepanjang hayat?
Hal lain yang perlu kita pelajari dari iblis ialah ketekunan dan kegigihannya dalam menunaikan tugas yang sudah dia pilih. Iblis memilih jalan untuk menjadi makhluk terkutuk. Dan jalan itu ia pilih berdasarkan keinginannya sendiri, bukan paksaan dari Tuhan.
Andai kata iblis tak memilih jalan itu, manusia akan tetap diuji dengan hawa nafsunya sendiri. Jangan dikira kalau Iblis tidak ada manusia akan menjadi malaikat semua. Tidak. Hawa nafsu itu kadang tidak kalah keji dari iblis.
Alhasil, jalan sesat yang dipilih oleh iblis adalah pilihannya sendiri, bukan paksaan dari Tuhan. Tapi, yang menarik dari iblis, ketika dia sudah menentukan pilihan, dia berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-citanya itu. Iblis mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya untuk menyengsarakan umat manusia.
Kesungguhan Iblis itu bisa kita pahami melalui salah satu ayat al-Quran: “Sungguh akan aku sesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (QS 15: 40).
Dalam ayat tersebut terdapat satu huruf yang dalam gramatika bahasa Arab sering disebut dengan istilah lâm al-Taukid (laughwiyanna). Huruf seperti itu menunjukan kemantapan dan kesungguhan. Artinya, dari potongan ayat itu, kita tahu bahwa iblis akan mengerahkan semua kemampuannya untuk mewujudkan tujuan yang diinginkannya.
Ketekunan, kegigihan, dan keistiqamahan iblis inilah yang sejujurnya patut kita tiru. Jika iblis melakukan itu dalam hal kebaikan, maka seyogyanya kita, sebagai musuh iblis, mewujudkan kegigihan itu dalam ketaatan, kebaikan, dan hal-hal bermanfaat yang bisa dinikmati oleh banyak orang.
Tuhan telah mengaruniakan kita keimanan. Sedangkan iblis ditakdirkan berada dalam kesengsaraan. Uniknya, iblis bersungguh-sungguh dalam mewujudkan tujuan hidupnya itu. Sedangkan kita, yang punya iman, kadang malas-malasan.
Keimanan yang sahih harusnya mampu menggelorakan semangat. Para ulama dulu menjadikan keimanan sebagai salah satu spirit utama dalam membangun peradaban besar, yang capaian-capaiannya bisa kita nikmati hingga sekarang. Semua itu tak akan terwujud tanpa adanya kegigihan dan kesungguhan. Para leluhur kita telah memberikan keteladanan sejati tentang kesungguhan itu.
Kalaulah kita tidak mampu meneladani mereka, maka kita bisa mempelajari kesungguhan itu dari makhluk lain bernama iblis. Jika iblis bersungguh-sungguh dalam keburukan, bukankah sebagai musuhnya kita harus bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kebaikan? Jika iblis bersungguh-sungguh dalam menyengsarakan anak cucu Adam, bukankah sebaiknya kita bersungguh-sungguh dalam memberikan manfaat untuk kemanusiaan?
Sumber : qureta.com
Recent Comments