Keterjagaan diri dari dosa dan maksiat atau disebut juga maksum merupakan konsep yang sentral sekali di kalangan Sunni dan Syiah. Jika Sunni berpandangan bahwa hanya Nabi saja yang maksum dari dosa, Syiah memperluas kemaksuman ini kepada imam-imam mereka, mulai dari Ali bin Abi Thalib sampai ke Imam yang kedua belas yang bernama Muhammad al-Mahdi.

Konsep ini mengandaikan bahwa semakin dekat seorang hamba kepada Tuhannya akan semakin terhindar dari melakukan dosa-dosa. Para Nabi dan para Imam merupakan manusia-manusia pilihan yang dekat dengan Tuhan jadi mereka terhindar dari dosa. Semakin dekat dengan Tuhan berarti semakin dekat pula dengan kebenaran dan juga sebaliknya, mereka semakin jauh dari kesalahan dan kemaksiatan.

Inilah konsep umum tentang kemaksuman seorang Nabi di kalangan Sunni atau imam di kalangan Syiah terlepas dari perbedaan pandangan di kalangan dua aliran terbesar dalam Islam tersebut.

Jika basis legitimasi kemaksuman para nabi dan imam terletak pada kedekatan dengan Tuhan, yakni semakin dekat dengan Tuhan semakin dekat pula dengan kebenaran dan semakin dekat dengan Tuhan semakin jauh dari kesalahan dan kekeliruan, maka bagaimana posisi wali Allah yang dalam konsep Sunni juga bisa disebut sebagai hamba Allah yang suci yang selalu mendekati-Nya. Ibarat pancaran matahari dengan matahari, seorang wali yang dekat dengan Allah sangat jauh dari kegelapan yang menyelimuti semesta.

Jika prinsip dasar kedekatan ini diterima, tentu jawaban yang tepat ialah bahwa wali juga sama seperti para nabi, terhindar dari kesalahan dan dosa alias maksum. Begitu kira-kira argumen yang bisa dikemukakan ketika kita membaca dua karya al-Qusyairi yang terkenal, Lata’if al-Isyarat dan ar-Risalah al-Qusyairiyyah.

Dalam kitab Lata’if al-Isyarat ini, tampak memang di awal-awal bahwa al-Qusyairi masih belum berani menyebut para wali sebagai orang suci yang maksum. al-Qusyairi malah menggunakan kata al-mahfuzh untuk kemaksuman para wali dan menggunakan kata al-ma’shum untuk kemaksuman para Nabi.

Untuk lebih memperjelas pandangan demikian, alangkah baiknya kita menyimak cuplikan langsung dari kitab Lata’if al-Isyarat berikut ini:

الأنبياء معصومون والأولياء محفوظون. والفرق بين المحفوظ والمعصوم أن المعصوم لا يلم بذنب البتة والمحفوظ قد تحصل منه هنات، وقد يكون له في الندرة ولكن لا يكون له أسرار.
Baca Juga : Pernah Alami Buta Saat Kecil, Imam Bukhari Sembuh karena Ibunya Bermimpi Hal Ini

“Para Nabi itu maksum dan para wali itu mahfuzh. Perbedaan antara al-mahfudz dan al-ma’shum terletak pada bahwa nabi yang ma’shum tidak pernah melakukan dosa sama sekali sementara al-mahfuzh masih melakukan dosa namun dengan frekuensi terendah, atau bahkan sangat jarang. Meski demikian, jika wali melakukan dosa seminim apapun, ia tidak akan memperoleh rahasia kebenaran (la yakun lahu asrar).”

Melalui kutipan ini secara tak sadar al-Qusyairi menunjukan bahwa wali tidak akan menjadi wali kalau dia masih berdosa sekecil apapun itu. Karena dengan dosa, sang wali tidak akan memperoleh lagi rahasia keilahian dan itu artinya ia tidak menjadi wali lagi.

Karena itu, menariknya, perbedaan al-mahfuzh dengan al-ma’shum ini segara ditepis dengan pandangan al-Qusyairi berikutnya, yakni masih dalam kitab yang sama seperti yang dapat kita lihat nanti dalam kitab Lata’if al-Isyarat.

Artinya, Al-Qusyairi kali ini tidak lagi menggunakan kata al-mahfuzh untuk menunjuk kepada keterjagaan para wali dari dosa. al-Qusyairi selangkah lebih berani lagi daripada sebelumnya, yakni berpandangan bahwa para wali juga orang suci yang ma’shum seperti halnya Nabi. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada cuplikan berikut:

ولا يكون وليا إلا إذا كان موفقا لجميع ما يلزم من الطاعات معصوما بكل وجه من الزلات.

“Tidaklah seseorang itu menjadi wali kecuali jika ia terbimbing untuk melaksanakan segala bentuk ketaatan dan terjaga (ma’shuman) dari segala bentuk dosa dan kesalahan.”

Dalam kitab ar-Risalah atau yang lebih dikenal dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, teoritikus tasawuf dalam Suni ini menegaskan lebih jauh lagi dengan mengatakan:

واعلم أن من أجل الكرامات التي تكون للأولياء دوام التوفيق للطاعات والعصمة من المعاصي والمخالفات.

“Ketahuilah bahwa salah satu dari keramat terbesar yang dimiliki oleh para wali ialah kesinambungan yang terus-menerus dalam melaksanakan ketaatan dan keterjagaan (ishmah) yang kontinu dari berbagai macam dosa dan pelanggaran [terhadap perintah Allah-pen]”.
Baca Juga : Makna ‘Awliya’ dalam Alquran

Terlihat bahwa salah satu prinsip dasar yang ingin dikemukakan al-Qusyairi dalam dua kitabnya yang terkenal tersebut ialah mendasarkan kemaksuman para wali pada kedekatan mereka dengan Tuhan dan ketidakmungkinan mereka melakukan dosa sekecil apapun. Jika pun melakukan demikian, itu artinya mereka tidak akan mendapat asrar ilahiah lagi.

Berangkat dari sini pertanyaan yang muncul kemudian ialah dari mana al-Qusyairi menimba inspirasi mengenai kemaksuman para wali?

Sebagai langkah awal untuk memberikan jawaban tepat untuk itu, kita coba simak pandangan menarik yang relevan dengan pembicaraan kita tentang kemaksuman para wali ini. Pandangan ini dikutip dari kitab al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun yang terkenal:

إن سلف هؤلاء كانوا مخالطين للإسماعيلية المتأخرين من الرافضة…فأشرب كل واحد من الفريقين مذهب الآخر واختلط كلامهم وتشابهت عقائدهم.

“Para sufi (sunni) terdahulu mencampur konsep-konsep tasawuf dengan konsep-konsep yang berasal dari sekte Isma’iliyyah muta’akhirin dari kalangan Syiah Rafidhah…akibatnya, masing-masing dari dua kelompok berbeda ini saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dampaknya, bercampur baurlah antara kalam sufi dan kalam Isma’iliyyah sehingga kredo mereka memiliki titik kesamaan dan kemiripan.”

Konteks kutipan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh adanya konsep-konsep sufi awal yang mengambil inspirasinya dari Syiah Isma’iliyyah. Konsep seperti wahdat as-syuhud, hulul, ittihad, tajalli, takhalli, awtad, nuqaba, dzahir, bathin dan lain-lain semuanya berasal dari Syiah. Termasuk konsep tentang al-Quthb, raja para wali, itu sebenarnya berasal dari Syiah.

Bedanya, jika Syiah Isma’iliyyah menurunkan konsep-konsep tersebut dari konsep intinya tentang keimamahan Syiah, kaum sufi menurunkannya dari konsep kewalian. Konsep tentang al-Quthb yang tidak bisa digantikan oleh calon al-Quthb yang lain kecuali setelah mati sama dengan konsep imam Syiah yang tidak bisa digantikan kecuali setelah imam sebelumnya mati. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mencontohkan itu:

وظهر في كلام المتصوفة القول بالقطب، ومعناه رأس العارفين، يزعمون أنه لا يمكن أن يساويه أحد في مقامه في المعرفة حتى يقبضه الله ثم يورث مقامه لآخر من أهل العرفان

“Lebih jauh lagi, muncullah istilah al-Qutb, yang artinya raja para wali. Mereka mengklaim bahwa kedudukan raja para wali ini tidak ada yang dapat menyetarainya sampai kemudian Allah mewafatkannya dan menggantikan posisinya dengan wali lainnya dari kalangan ahli kasyaf.”
Baca Juga : Gila Jabatan Termasuk Penyakit Hati? Ini Kata Imam al-Ghazali

Ibnu Khaldun kemudian memperjelas asal muasal pengaruh yang ditularkan oleh Syiah Isma’iliyyah terhadap kaum sufi awal:

والذي يظهر أن المتصوفة بالعراق لما ظهرت الإسماعيلية من الشيعة وظهر كلامهم في الإمامة وما يرجع إليها مما هو معروف فاقتبسوا من ذلك الموازنة بين الظاهر والباطن…فتأمل ذلك من كلام هؤلاء المتصوفة في أمر الفاطمي وما شحنوا كتبهم في ذلك مما ليس لسلف المتصوفة فيه كلام بنفي أو إثبات، وإنما هو مأخوذ من كلام الشيعة الرافضة ومذاهبهم في كتبهم.

“Yang jelas, dulu kaum sufi di Irak – saat kemunculan sekte Isma’iliyyah dari Syiah dan konsep mereka mengenai imamah dan beberapa istilah turunanya seperti yang kita kenal saat ini – mengadopsi keseimbangan antara dzahir dan batin [dari syiah-pen]….Coba kita perhatikan bagaimana pandangan (politik) para sufi (sunni) terhadap negara Fathimiyyah yang syiah.

Kita tidak akan menemukan pandangan mereka yang menolak (bi-nafyin) dan yang menerima (ithbat) menerima. Jelasnya, banyak sekali konsep-konsep sufi seperti yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang diadopsi dari Syiah Rafidah beserta aliran-aliran di dalamnya. ”

Pandangan Ibnu Khaldun ini paling tidak menjelaskan secara prinsipil tentang keterkaitan tasawuf dengan Syiah, sebuah pandangan yang sangat cerdas dan jeli dan menusuk ke akar-akar historisnya tanpa pretensi untuk menghakimi.

Berangkat dari kutipan panjang al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun ini, kita kembali ke persoalan yang diangkat di awal artikel ini, yakni dari mana al-Qusyairi memiliki pandangan bahwa wali itu maksum seperti halnya Nabi?

Berdasarkan data-data kesejarahan dari Ibnu Khaldun di atas, tentu dapat kita jawab dengan mudah, yakni pengaruh tersebut menimba inspirasinya dari Syiah Isma’iliyyah.

Simpulnya, konsep kewalian dalam Sunni dan konsep keimamahan dalam Syiah memiliki pertalian yang cukup erat dimana yang pertama, kata Ibnu Khaldun, mengadopsi dari yang kedua terutama dalam hal kemaksuman para wali. Allahu A’lam.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »